Dinamika Sikap Generasi Muda Indonesia terhadap Spiritualitas dan Agama: Analisis Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
I. Pendahuluan: Spiritualitas dan Agama di Tengah Dinamika Generasi Indonesia
Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai sikap generasi muda Indonesia, khususnya Generasi Z, Milenial, dan Generasi X, terhadap spiritualitas dan agama. Fokus utama diberikan pada fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR), mengidentifikasi karakteristik, pendorong, serta perbandingan sikap antar generasi dalam konteks sosial dan digital Indonesia. Pemahaman terhadap dinamika ini menjadi krusial mengingat peran sentral generasi muda dalam membentuk lanskap sosio-religius masa depan bangsa.
Latar Belakang: Pergeseran Paradigma Keberagamaan Global dan Konteks Indonesia
Secara global, terdapat pergeseran signifikan dalam cara individu memahami dan mempraktikkan keberagamaan, dengan peningkatan minat pada spiritualitas personal yang seringkali terpisah dari institusi agama formal. Diskusi global mengenai SBNR seringkali menyiratkan adanya penurunan afiliasi keagamaan tradisional dan peningkatan sekularisasi.1 Namun, konteks Indonesia, sebagai negara dengan tingkat religiusitas yang sangat tinggi, menawarkan dinamika yang unik dan berbeda dari tren Barat. Data dari Pew Research Center secara eksplisit menempatkan Indonesia sebagai pengecualian, menjadi salah satu negara paling religius di dunia, di mana hampir seluruh responden dewasa mengidentifikasi diri dengan suatu agama.2
Tingkat religiusitas yang tinggi ini merupakan faktor kontekstual yang mendasar. Mayoritas besar masyarakat Indonesia, sekitar 96%, mengaitkan kepercayaan pada Tuhan dengan moralitas dan nilai-nilai baik. Selain itu, 98% responden menganggap agama, 91% menganggap Tuhan, dan 95% menganggap doa sebagai bagian penting dari hidup mereka.3 Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fenomena SBNR mungkin muncul di Indonesia, kemungkinan besar tidak akan menandakan penolakan agama secara luas atau pergerakan menuju sekularisme. Sebaliknya, kondisi ini menyiratkan adanya reinterpretasi atau diferensiasi ekspresi keagamaan di dalam kerangka masyarakat yang sangat religius. Fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk "re-personalisasi keagamaan" atau "privatisasi agama" 4, di mana individu mencari makna yang lebih dalam dan otentik di dalam atau di samping kerangka keagamaan yang ada. Pendekatan ini menantang narasi SBNR konvensional ala Barat dan menuntut pemahaman yang lebih bernuansa, disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Tujuan Laporan: Menganalisis Sikap Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap Spiritualitas vs. Agama, dengan Fokus pada Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis mendalam mengenai bagaimana generasi-generasi kunci di Indonesia—Generasi Z, Milenial, dan Gen X—memandang hubungan antara spiritualitas dan agama. Fokus khusus akan diberikan pada kelompok "Spiritual But Not Religious" (SBNR), mengidentifikasi karakteristik, pendorong, serta perbandingan sikap antar generasi dalam konteks sosial dan digital Indonesia.
Definisi Konseptual: Spiritualitas, Agama, dan "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
Untuk analisis yang komprehensif, penting untuk memahami definisi konseptual dari istilah-istilah kunci yang digunakan dalam laporan ini.
Spiritualitas merujuk pada pencarian makna, tujuan, dan koneksi dengan sesuatu yang transenden atau lebih besar dari diri sendiri. Konsep ini dapat bersifat personal dan tidak selalu terikat pada dogma atau ritual agama tertentu. Kata "spiritualitas" sendiri berasal dari kata Ibrani "ruach" yang berarti "roh" atau "sesuatu yang memberikan kehidupan maupun semangat".5 Di Indonesia, istilah "spiritualitas" telah mengalami perubahan makna yang menarik. Berbeda dengan tren di Barat di mana pertumbuhan spiritualitas seringkali berkorelasi dengan menurunnya afiliasi dan partisipasi agama, di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak menjadi "sponsor" spiritualitas.6 Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas di Indonesia seringkali dipahami dan dipraktikkan dalam kerangka keagamaan yang sudah mapan, bukan sebagai alternatif yang terpisah.
Agama mengacu pada sistem kepercayaan dan praktik yang terorganisir, seringkali melibatkan institusi, ritual, dogma, dan komunitas. Di Indonesia, agama sangat formal dan diatur oleh negara. Setiap warga negara wajib mencantumkan salah satu dari enam agama resmi pada kartu identitas nasional (KTP), dan "tidak beragama" bukanlah pilihan yang tersedia.8 Regulasi ini mencerminkan peran agama yang sangat terlembaga dalam struktur sosial dan politik Indonesia.
"Spiritual But Not Religious" (SBNR) adalah frasa yang digunakan untuk mengidentifikasi pandangan hidup yang mengutamakan spiritualitas tanpa menganggap agama terorganisir sebagai satu-satunya atau cara paling berharga untuk mencapai tujuan spiritual.9 Karakteristik umum SBNR meliputi sifat anti-institusional dan personal, menghargai rasa ingin tahu, kebebasan intelektual, dan pendekatan eksperimental terhadap agama. Banyak penganut SBNR global memandang agama terorganisir sebagai musuh spiritualitas otentik, mengklaim spiritualitas adalah refleksi dan pengalaman pribadi, bukan ritual publik.9
Namun, dalam konteks Indonesia yang sangat religius, manifestasi SBNR memiliki corak yang bernuansa. SBNR di sini mungkin tidak selalu berarti penolakan total terhadap agama. Sebaliknya, ini bisa bermanifestasi sebagai individu yang "lebih bermuatan spiritual daripada religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber nilai moral dan panduan hidup.10 Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak "mensponsori" spiritualitas, berbeda dengan tren Barat di mana SBNR seringkali menandakan penurunan afiliasi agama.6 Ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia lebih merupakan upaya untuk menyatukan spiritualitas dan religiusitas, menciptakan "spiritualitas terintegrasi" daripada yang terpisah.11 Pemahaman ini sangat penting karena mendefinisikan ulang bagaimana SBNR harus dipahami di Indonesia. Ini bukan ancaman eksistensial bagi institusi keagamaan, melainkan sebuah evolusi dalam cara individu mencari makna. Organisasi keagamaan dapat berhasil dengan menekankan inti spiritual dari ajaran mereka dan menawarkan jalur pertumbuhan spiritual pribadi yang dapat diintegrasikan dengan praktik tradisional.
II. Profil Demografi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia
Indonesia saat ini menikmati bonus demografi yang signifikan, dengan Generasi Z dan Milenial membentuk segmen terbesar dari populasi usia produktif. Pemahaman akan komposisi demografi ini sangat penting untuk menganalisis sikap keberagamaan mereka, karena preferensi, nilai, dan perilaku kelompok-kelompok ini akan secara tidak proporsional membentuk lanskap sosio-religius bangsa di masa depan.
Rentang Usia dan Proporsi Populasi Nasional
Untuk analisis ini, rentang usia generasi didasarkan pada data tahun 2020, yang konsisten dengan data populasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber lainnya. Generasi X umumnya lahir antara 1965-1979 12 atau 1965-1980 13, sehingga pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 40-55 tahun.13 Generasi Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) lahir antara 1980-1994 12 atau 1981-1996 13, dan pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 24-39 tahun.13 Sementara itu, Generasi Z lahir antara 1995-2009 12 atau 1997-2012 13, yang berarti pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 8-23 tahun.13 Meskipun ada sedikit variasi rentang tahun di beberapa sumber, seperti Ipsos 14, rentang yang disebutkan di atas digunakan untuk konsistensi dengan data populasi.
Dalam hal proporsi populasi nasional, Generasi Z merupakan kelompok generasi terbesar di Indonesia, berjumlah 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total penduduk.15 Generasi Milenial menyusul sebagai kelompok terbesar kedua, dengan 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari total penduduk.15 Generasi X berjumlah 58,65 juta jiwa atau 21,88% dari total penduduk.15 Secara kolektif, Generasi Z dan Milenial mendominasi populasi produktif Indonesia, mencapai lebih dari 50% dari total penduduk.17 Dominasi demografi ini menunjukkan bahwa sikap dan pandangan mereka terhadap spiritualitas dan agama akan sangat menentukan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa mendatang. Ukuran dan kemudaan generasi ini menyoroti urgensi untuk memahami dinamika spiritual dan keagamaan mereka. Bagi pembuat kebijakan, institusi keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil, memahami dan menanggapi kebutuhan serta perspektif kelompok-kelompok ini bukan hanya latihan akademis, tetapi keharusan kritis untuk menjaga kohesi sosial, memupuk identitas nasional 18, dan memastikan relevansi kehidupan beragama di Indonesia. Pilihan kolektif mereka akan menentukan lintasan praktik dan kepercayaan beragama selama beberapa dekade mendatang.
Berikut adalah tabel yang merangkum data populasi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia berdasarkan data tahun 2020:
Tabel 1: Data Populasi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia (2020)
Generasi | Rentang Tahun Lahir (berdasarkan 2020) | Perkiraan Usia (pada 2020) | Jumlah Populasi (jiwa) | Persentase terhadap Total Penduduk (%) |
Generasi X | 1965-1979/1980 | 40-55 tahun | 58.650.000 | 21,88% |
Milenial | 1980-1994/1996 | 24-39 tahun | 69.380.000 | 25,87% |
Generasi Z | 1995-2009/2012 | 8-23 tahun | 74.930.000 | 27,94% |
Sumber: 12
III. Lanskap Keberagamaan Umum Generasi Muda Indonesia
Masyarakat Indonesia, termasuk generasi mudanya, dikenal memiliki tingkat religiusitas yang sangat tinggi. Karakteristik ini menjadi fondasi penting dalam memahami bagaimana spiritualitas dan agama dipahami serta dipraktikkan di negara ini.
Tingkat Religiusitas dan Pentingnya Agama dalam Identitas Personal
Survei Pew Research Center pada tahun 2020 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling religius di dunia.3 Hampir seluruh responden Indonesia, yaitu 96%, menyatakan bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah prasyarat untuk menjadi bermoral dan memiliki nilai-nilai yang baik. Selain itu, mayoritas responden menganggap agama (98%), Tuhan (91%), dan doa (95%) sebagai bagian penting dari hidup mereka.3 Angka-angka ini secara konsisten menunjukkan tingginya tingkat ketaatan beragama di kalangan masyarakat Indonesia.
Senada dengan temuan tersebut, survei INFID pada tahun 2020 yang melibatkan generasi muda Indonesia (usia 18-30 tahun, yang sebagian besar termasuk Generasi Z dan Milenial muda) mengungkapkan bahwa 86,8% responden mengaku taat atau sangat taat dalam menjalankan ibadah agama. Agama juga diidentifikasi sebagai bagian penting dalam pembentukan identitas personal generasi muda ini.19 Tingkat religiusitas yang luar biasa tinggi ini merupakan faktor kontekstual yang sangat penting. Apabila kecenderungan SBNR diamati dalam populasi ini, hal tersebut tidak mungkin mewakili penolakan total terhadap iman atau pergerakan menuju sekularisme. Sebaliknya, SBNR di Indonesia harus dipahami sebagai manifestasi yang terjadi di dalam masyarakat yang sangat religius, di mana identitas keagamaan kuat dan seringkali diformalkan.8 Hal ini menunjukkan bahwa SBNR lebih merupakan kalibrasi ulang atau personalisasi iman, di mana individu mencari makna yang lebih dalam atau ekspresi alternatif di dalam atau di samping kerangka keagamaan yang ada, bukan pelepasan total dari kepercayaan beragama. Ini menyiratkan bahwa institusi keagamaan masih memiliki modal budaya dan sosial yang signifikan, meskipun bentuk tradisional mereka mungkin sedang dievaluasi ulang oleh generasi muda.
Persepsi terhadap Toleransi dan Intoleransi Beragama
Meskipun memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, terdapat dinamika dan ambivalensi yang menarik dalam isu toleransi beragama di Indonesia. Survei INFID pada tahun 2020 menunjukkan penolakan kuat generasi muda terhadap tindakan kekerasan bermotif agama, dengan 94,4% responden menyatakan tidak setuju. Selain itu, 93% responden secara umum menyatakan setuju dengan toleransi.19 Ini menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya menghindari kekerasan dalam konteks keberagamaan.
Namun, survei yang sama juga menemukan kecenderungan kuat di kalangan generasi muda untuk menerima intoleransi terhadap kelompok keyakinan minoritas non-mainstream atau yang secara populer disebut "kelompok sesat".19 Temuan ini mengungkapkan sebuah paradoks: generasi muda Indonesia menolak kekerasan yang dimotivasi oleh agama, namun pada saat yang sama menunjukkan kecenderungan untuk menerima stigmatisasi atau pengucilan sosial terhadap kelompok keyakinan yang dianggap menyimpang. Hal ini mengindikasikan adanya kegamangan dalam isu-isu intoleransi, di mana penolakan kekerasan tidak selalu berarti penerimaan penuh terhadap keragaman keyakinan.
Konteks regulasi agama di Indonesia juga relevan dalam membentuk dinamika ini. Meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, negara mengatur secara ketat, mewajibkan warga negara mencantumkan salah satu dari enam agama resmi pada KTP. Individu yang tidak mencantumkan agama atau memilih agama di luar yang diakui dapat menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan publik.8 Kondisi ini menciptakan tekanan untuk konformitas keagamaan. Sikap bernuansa terhadap toleransi ini menciptakan lingkungan yang menantang bagi individu yang mengidentifikasi diri sebagai SBNR, terutama jika eksplorasi spiritual mereka mengarah pada ekspresi yang tidak ortodoks atau non-mainstream.9 Tekanan sosial dan pemerintah untuk afiliasi keagamaan formal, dikombinasikan dengan kesediaan untuk mentolerir intoleransi terhadap kelompok "menyimpang", dapat mendorong ekspresi SBNR ke bawah tanah atau membatasi manifestasi publiknya. Hal ini menyoroti potensi ketegangan antara kebebasan spiritual individu dan ekspektasi masyarakat akan konformitas keagamaan, yang menimbulkan tantangan bagi pluralisme agama yang otentik.
IV. Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia: Karakteristik dan Pendorong
Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia menunjukkan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tren global, terutama di negara-negara Barat. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh konteks sosio-religius Indonesia yang unik.
Definisi dan Manifestasi SBNR dalam Konteks Indonesia
Secara umum, SBNR adalah pandangan hidup yang mengutamakan spiritualitas personal dan pengalaman batin di atas dogma dan ritual agama terorganisir, seringkali dengan sikap anti-institusional.9 Penganut SBNR global menghargai rasa ingin tahu, kebebasan intelektual, dan pendekatan eksperimental terhadap agama, bahkan memandang agama terorganisir sebagai penghalang spiritualitas otentik.9
Namun, di Indonesia, manifestasi SBNR memiliki corak yang unik. Alih-alih penolakan total terhadap agama, SBNR di sini dapat berarti seseorang yang "lebih bermuatan spiritual daripada religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber untuk memahami bagaimana menjalani hidup dan berinteraksi dengan sesama.10 Studi juga menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak "mensponsori" spiritualitas, berbeda dengan tren Barat di mana spiritualitas berkorelasi dengan menurunnya afiliasi agama.6 Hal ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia lebih merupakan upaya untuk mengintegrasikan spiritualitas personal dengan warisan keagamaan, bukan memisahkannya sepenuhnya.11
Pemahaman konvensional tentang SBNR di Barat sering mengaitkannya dengan sekularisasi dan penurunan afiliasi keagamaan.1 Namun, data menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama justru menyerap atau mensponsori spiritualitas. Hal ini diperkuat oleh individu yang mengidentifikasi diri sebagai "tidak religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber panduan moral.10 Ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia bukan tentang meninggalkan iman, melainkan tentang keterlibatan kembali yang dipersonalisasi dengannya, seringkali mencari makna yang lebih dalam di luar kekakuan institusional sambil tetap mengambil dari tradisi keagamaan yang mapan. Ini merupakan re-personalisasi iman daripada pergerakan menuju irreligiusitas. Karakteristik SBNR yang unik ini berarti bahwa institusi keagamaan mungkin tidak menghadapi ancaman eksistensial yang sama seperti di Barat. Sebaliknya, tantangan dan peluang terletak pada adaptasi terhadap keinginan akan pengalaman spiritual yang dipersonalisasi dan otentik. Institusi yang dapat menekankan inti spiritual dari ajaran mereka dan menawarkan jalur yang fleksibel untuk keterlibatan, seperti menjadikan spiritualitas sebagai tema sentral dan memberi ruang bagi ekspresi iman yang beragam tanpa menghakimi, lebih mungkin untuk menarik dan mempertahankan individu-individu ini.11
Faktor Pendorong: Pengaruh Teknologi Digital dan Privatisasi Agama
Kemajuan teknologi dan internet telah menjadi pendorong utama dalam membentuk spiritualitas kontemporer di Indonesia. Kemudahan akses informasi memungkinkan kaum muda untuk mencari dan berbagi berbagai bentuk spiritualitas, dari meditasi mindfulness, yoga, hingga refleksi diri melalui journaling.21 Aplikasi meditasi, podcast, dan blog tentang kesehatan mental dan spiritual telah menjadi sumber inspirasi dan panduan yang mudah diakses.21
Cyberspace bahkan telah menjadi bagian integral dari spiritualitas Generasi Z.22 Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi ini juga dapat menyebabkan kurangnya kesadaran akan spiritualitas tradisional jika tidak diimbangi.5
Era digital juga memfasilitasi "privatisasi agama," di mana individu, khususnya pemuda Muslim, mengembangkan pemikiran sendiri tentang paham keagamaan karena akses akut terhadap media sosial dan konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.4 Pergeseran dari keberagamaan komunal ke yang lebih individual ini berpotensi memicu intoleransi dan radikalisme jika tidak diimbangi dengan literasi dan bimbingan yang memadai.4
Dampak digitalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, keterlibatan Generasi Z dengan platform digital memfasilitasi eksplorasi spiritual yang sangat personal, fleksibel, dan terhubung secara global.21 Ini sejalan dengan etos SBNR dalam pencarian makna individu. Namun, di sisi lain, "privatisasi agama" melalui konten media sosial yang tidak terverifikasi dapat, secara paradoks, mengarah pada intoleransi dan radikalisme.4 Hal ini mengungkapkan ketegangan krusial: alat yang sama yang memungkinkan pertumbuhan spiritual individu juga dapat mengekspos kaum muda pada interpretasi yang berbahaya dan tidak dimoderasi, berpotensi memecah belah kohesi sosial. Sifat ganda digitalisasi ini menghadirkan tantangan signifikan bagi para pemimpin agama, pendidik, dan lembaga pemerintah. Sekadar memungkinkan akses digital untuk konten spiritual tidaklah cukup. Ada kebutuhan mendesak untuk secara aktif terlibat dalam ruang digital, tidak hanya untuk menyebarkan pesan moderasi beragama 26 tetapi juga untuk memupuk literasi keagamaan kritis di kalangan pemuda.3 Pendekatan proaktif ini dapat membantu mereka membedakan panduan spiritual yang dapat diandalkan dari konten yang berpotensi berbahaya, mengurangi risiko interpretasi pribadi yang tidak terkendali yang mengarah pada ekstremisme.
Perbandingan SBNR Indonesia dengan Tren Global
Di negara-negara Barat, pertumbuhan SBNR sering dikaitkan dengan penolakan terhadap agama terorganisir dan penurunan afiliasi keagamaan.1 Ini seringkali dilihat sebagai indikator sekularisasi masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun ada tren pencarian spiritualitas personal, tingkat religiusitas keseluruhan tetap tinggi.3 Fenomena SBNR di Indonesia lebih mencerminkan adaptasi dan re-interpretasi keberagamaan di mana agama-agama arus utama justru mengadopsi atau mensponsori spiritualitas, bukan sebaliknya.6 Oleh karena itu, SBNR di Indonesia mungkin lebih merupakan evolusi dalam ekspresi keberagamaan yang bertujuan untuk memperdalam makna personal dalam kerangka yang ada, daripada indikasi sekularisasi atau penolakan agama secara fundamental.
V. Perbandingan Sikap Spiritualitas vs. Agama Antar Generasi
Sikap terhadap spiritualitas dan agama di Indonesia menunjukkan variasi yang menarik antar generasi, mencerminkan pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan paparan teknologi yang berbeda.
A. Generasi Z (Lahir 1995-2012)
Generasi Z, sebagai "digital native," menunjukkan pola keberagamaan yang unik, yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi.
Sikap terhadap Institusi Agama dan Pemuka Agama
Secara mengejutkan, Generasi Z di Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap pemuka agama (35%) dibandingkan Milenial (33%), Boomer (32%), dan Gen X (31%).27 Temuan ini kontras dengan narasi umum SBNR di Barat yang sering mengaitkan generasi muda dengan ketidakpercayaan institusional.9 Tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada pemimpin agama ini merupakan sebuah kontradiksi yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka mengejar pengalaman spiritual yang personal dan fleksibel 21, Generasi Z masih menghargai bimbingan dan otoritas yang diberikan oleh tokoh agama. Hal ini mungkin berasal dari pola asuh mereka, pencarian panduan otentik di dunia digital yang kompleks, atau keinginan untuk terhubung dalam kerangka yang terpercaya. Temuan ini menantang pandangan sederhana bahwa SBNR semata-mata merupakan penolakan terhadap otoritas agama. Sebaliknya, hal ini menyiratkan bahwa Generasi Z mungkin mencari jenis kepemimpinan keagamaan yang berbeda—yang dianggap otentik, inklusif, dan mampu menavigasi kompleksitas era digital.26 Institusi keagamaan dapat memanfaatkan kepercayaan ini dengan menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan Generasi Z akan pertumbuhan spiritual pribadi dan panduan yang kredibel, menekankan relevansi dan keaslian di atas dogma yang kaku.
Pola Penghayatan Spiritualitas Personal dan Fleksibel di Era Digital
Generasi Z secara inheren terhubung dengan teknologi, yang mempengaruhi cara mereka menghayati spiritualitas. Mereka cenderung mencari pengalaman spiritual yang lebih personal, fleksibel, dan terhubung secara global.23 Mereka aktif memanfaatkan teknologi digital, seperti aplikasi meditasi, podcast, dan blog tentang kesehatan mental dan spiritual, sebagai sumber inspirasi dan panduan dalam menggali spiritualitas.21 Penghayatan spiritualitas mereka bahkan telah memunculkan corak "spiritualitas digitalis" yang unik dan otentik, di mana cyberspace telah menjadi bagian integral dari spiritualitas mereka.22 Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa mereka tetap mempertahankan nilai-nilai inti keagamaan (misalnya, nilai-nilai Kristen dalam studi spesifik) meskipun dalam bentuk yang lebih terfragmentasi dan adaptif sebagai respons terhadap kemajuan teknologi.23 Tingginya tingkat religiusitas Muslim Generasi Z di Indonesia (83%) juga dikaitkan dengan latar belakang pendidikan agama mereka.28
Kecenderungan terhadap Moderasi Beragama dan Tantangan Politisasi Agama
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, secara aktif mengingatkan Generasi Z akan bahaya politisasi agama dan mendorong mereka untuk menjadi agen moderasi beragama.26 Hal ini mencerminkan kekhawatiran akan kerentanan generasi ini terhadap ekstremisme berbasis agama, meskipun mereka secara umum menolak tindakan kekerasan bermotif agama.19 Fenomena "privatisasi agama" di kalangan pemuda Muslim, yang didorong oleh akses media sosial yang akut dan konten yang tidak terverifikasi, dapat memicu intoleransi dan radikalisme.4 Ini menunjukkan bahwa personalisasi spiritualitas tanpa bimbingan dan literasi yang tepat dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap kohesi sosial. Tantangan ganda spiritualitas digital ini menuntut pendekatan proaktif dari para pemimpin agama dan pendidik. Diperlukan keterlibatan aktif dalam ruang digital, tidak hanya untuk melawan narasi radikal tetapi juga untuk memberikan panduan spiritual yang kredibel, inklusif, dan bernuansa yang sesuai dengan kepekaan Generasi Z sebagai digital native. Ini melibatkan promosi literasi keagamaan kritis dan pembentukan komunitas daring yang mendukung pengembangan spiritual yang moderat dan toleran.
B. Generasi Milenial (Lahir 1980-1996)
Generasi Milenial, yang berada di antara Generasi X dan Generasi Z, menunjukkan karakteristik transisional dalam sikap mereka terhadap spiritualitas dan agama.
Pencarian Makna Hidup dan Keterbukaan terhadap Berbagai Bentuk Spiritualitas
Generasi Milenial, seperti Generasi Z, juga menunjukkan kecenderungan kuat dalam pencarian makna hidup yang lebih dalam dan keterbukaan terhadap berbagai bentuk spiritualitas. Mereka sangat menghargai pengalaman menemukan Yang Ilahi melalui studi dan meditasi; sekitar 40% Milenial menilai doa dan meditasi sebagai kunci penting dalam pengalaman spiritual mereka.11 Mereka cenderung melihat spiritualitas dan religiusitas sebagai sesuatu yang tidak saling eksklusif, melainkan dapat disatukan untuk mencapai pengalaman ilahi yang lebih memuaskan.11
Sikap terhadap Institusi Keagamaan dan Inklusivitas
Milenial menunjukkan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap pemuka agama (33%), menempatkan mereka di posisi kedua setelah Generasi Z.27 Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih memiliki koneksi dan kepercayaan pada institusi keagamaan, meskipun mungkin dengan ekspektasi yang berbeda. Mereka cenderung menyukai inklusi daripada eksklusi dalam konteks keberagamaan, mencari cara untuk menjembatani kesenjangan antara spiritualitas personal dan agama terorganisir.11 Preferensi mereka terhadap hotel syariah juga menunjukkan adanya motivasi religius dan minat pada fasilitas yang ramah Muslim 17, yang mengindikasikan bahwa religiusitas tetap menjadi bagian penting dari identitas dan pilihan gaya hidup mereka. Milenial mewakili demografi krusial bagi institusi keagamaan. Keinginan mereka akan keaslian, inklusi, dan pengalaman spiritual yang lebih dalam 11 berarti bahwa institusi yang dapat beradaptasi untuk menawarkan bentuk ibadah yang lebih bermakna, tidak terlalu dogmatis, dan kaya pengalaman kemungkinan besar akan mempertahankan atau menarik generasi ini. Ini menunjukkan perlunya para pemimpin agama untuk menekankan inti spiritual dari tradisi mereka dan menciptakan lingkungan di mana eksplorasi pribadi dan integrasi iman ke dalam kehidupan sehari-hari didorong.
C. Generasi X (Lahir 1965-1979/1980)
Generasi X, yang tumbuh di era transisi sebelum dominasi digital, menunjukkan sikap yang lebih skeptis terhadap otoritas keagamaan formal.
Tingkat Kepercayaan terhadap Pemuka Agama (Terendah)
Generasi X menunjukkan tingkat kepercayaan paling rendah terhadap pemuka agama (31%) dibandingkan Generasi Z, Milenial, dan Baby Boomer.27 Temuan ini menempatkan mereka sebagai generasi yang paling skeptis terhadap otoritas keagamaan formal di antara kelompok-kelompok yang disurvei. Tingkat kepercayaan yang lebih rendah ini sangat penting karena menantang asumsi linear bahwa kecenderungan SBNR meningkat seiring dengan generasi yang lebih muda. Skeptisisme mereka, dibandingkan dengan generasi yang lebih tua (Boomer) dan lebih muda (Milenial, Generasi Z), menunjukkan respons generasi yang unik. Kepercayaan yang lebih rendah ini mungkin terkait dengan konteks historis mereka, karena telah mengalami kecemasan sosial dan ekonomi yang signifikan pada akhir 80-an dan 90-an 12, yang dapat menumbuhkan pendekatan yang lebih mandiri dan mengandalkan diri sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk iman.
Kemandirian dan Ketangguhan dalam Menjalani Kehidupan Beragama
Meskipun data eksplisit tentang spiritualitas Generasi X tidak sebanyak generasi yang lebih muda, karakteristik umum mereka dikenal sebagai individu yang mandiri dan tangguh, yang telah mengalami berbagai kecemasan dan krisis ekonomi pada akhir 80-an hingga 90-an.12 Sifat kemandirian ini kemungkinan besar tercermin dalam pendekatan mereka terhadap keberagamaan, yang mungkin lebih bersifat personal dan tidak terlalu bergantung pada struktur formal atau bimbingan institusional. Hal ini menggarisbawahi bahwa pengalaman generasi adalah pembentuk kuat sikap keagamaan. Bagi Generasi X, ketahanan dan pragmatisme mereka kemungkinan besar mengarah pada iman pribadi yang menghargai keaslian dan pengalaman langsung. Ini berarti bahwa strategi penjangkauan dan keterlibatan keagamaan harus disesuaikan, mengakui bahwa pendekatan "satu ukuran untuk semua" tidak akan sesuai di seluruh generasi. Bagi Generasi X, penekanan pada penerapan iman secara praktis dan dukungan berbasis komunitas mungkin lebih efektif daripada pengajaran yang murni dogmatis.
Berikut adalah tabel yang menyajikan perbandingan sikap utama Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap spiritualitas dan agama:
Tabel 2: Perbandingan Sikap Utama Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap Spiritualitas dan Agama
Generasi | Rentang Usia (berdasarkan 2020) | Proporsi Populasi (%) | Tingkat Kepercayaan pada Pemuka Agama (%) | Karakteristik Spiritualitas/Agama Utama | Keterlibatan Digital dalam Spiritualitas | Isu Utama yang Mempengaruhi Pandangan |
Generasi Z | 8-23 tahun | 27,94% | 35% (Tertinggi) | Personal, Fleksibel, Digitalis | Tinggi | Politisasi Agama, Privatisasi Agama, Intoleransi |
Milenial | 24-39 tahun | 25,87% | 33% (Kedua Tertinggi) | Pencarian Makna, Inklusif, Terintegrasi | Sedang | Inklusivitas, Relevansi Institusi |
Generasi X | 40-55 tahun | 21,88% | 31% (Terendah) | Mandiri, Pragmatis, Kurang Institusional | Rendah/Tidak Spesifik | Otoritas Institusi, Pengalaman Hidup |
Sumber: 4
VI. Implikasi dan Rekomendasi
Dinamika sikap generasi muda Indonesia terhadap spiritualitas dan agama, terutama munculnya fenomena SBNR, memiliki implikasi signifikan terhadap kohesi sosial dan lanskap keagamaan nasional.
Dampak terhadap Kohesi Sosial dan Dinamika Keagamaan Nasional
Munculnya fenomena SBNR dan tren privatisasi agama, terutama di kalangan generasi muda, memiliki dampak ganda terhadap kohesi sosial dan dinamika keagamaan nasional. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong bentuk keberagamaan yang lebih otentik, personal, dan inklusif, berpotensi mengurangi formalisme dan dogmatisme yang kaku.11 Ini dapat membuka jalan bagi dialog antar iman yang lebih mendalam dan pemahaman yang lebih luas tentang spiritualitas.
Namun, di sisi lain, jika personalisasi ini tidak diimbangi dengan literasi keagamaan yang memadai dan bimbingan yang tepat, terutama di tengah banjir informasi di media sosial yang tidak terverifikasi, privatisasi agama berisiko memicu intoleransi dan radikalisme.4 Hal ini dapat mengikis nilai-nilai toleransi yang telah disepakati, seperti yang terlihat dari ambivalensi generasi muda terhadap kelompok keyakinan minoritas.19
Analisis ini mengungkapkan interaksi yang kompleks: keinginan yang berkembang untuk spiritualitas pribadi yang fleksibel 21 adalah evolusi alami di era digital, namun "privatisasi agama" ini 4 membawa risiko yang melekat untuk mengarah pada intoleransi dan fragmentasi jika tidak dibimbing. Ini menciptakan ketegangan kritis antara kebebasan spiritual individu dan harmoni sosial kolektif. Tantangannya bukanlah untuk menekan spiritualitas pribadi, tetapi untuk mengintegrasikannya secara konstruktif dalam kerangka yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasional seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.18 Potensi bonus demografi juga harus diiringi dengan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, termasuk dalam aspek sosio-kultural dan keagamaan.18 Masa depan kerukunan beragama dan persatuan nasional di Indonesia sangat bergantung pada seberapa efektif keseimbangan ini dikelola. Hal ini memerlukan pendekatan proaktif, bukan reaktif, dari semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perjalanan spiritual individu berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara lebih luas, daripada mengurangi. Ini menyiratkan kebutuhan akan adaptasi dinamis dari institusi keagamaan dan panduan strategis dari pemerintah.
Rekomendasi bagi Institusi Keagamaan, Pemerintah, dan Pemangku Kepentingan
Mengingat kompleksitas dinamika keberagamaan generasi muda, pendekatan multi-stakeholder yang terkoordinasi sangat diperlukan.
Bagi Institusi Keagamaan:
- Adaptasi dan Inovasi Konten: Institusi keagamaan perlu mengembangkan pendekatan yang lebih relevan dan kontekstual untuk membimbing spiritualitas generasi digital, mengakui bahwa cyberspace adalah bagian dari spiritualitas mereka.22 Ini termasuk menciptakan konten yang menarik dan mudah diakses di platform digital, serta memanfaatkan format yang disukai generasi muda seperti
podcast, video pendek, dan aplikasi interaktif. - Integrasi Spiritualitas dan Agama: Penting untuk menekankan aspek spiritual dalam praktik keagamaan. Institusi dapat menawarkan ruang untuk meditasi, refleksi personal, dan menjelaskan makna di balik ritual untuk memperkaya pengalaman ibadah. Hal ini sejalan dengan keinginan Milenial untuk menyatukan agama dan spiritualitas 11, serta dapat menarik Generasi Z yang mencari pengalaman personal.
- Keterbukaan dan Inklusivitas: Mendorong dialog antar iman dan menciptakan lingkungan yang inklusif, mengakomodasi keragaman ekspresi spiritual tanpa menghakimi kedalaman iman seseorang.11 Ini krusial untuk merespons ambivalensi terhadap toleransi yang ditemukan di kalangan generasi muda.19
- Pelatihan Pemuka Agama: Memproduksi dai atau pemuka agama muda yang moderat, inklusif, toleran, dan mampu menyuarakan perdamaian dengan penampilan dan bahasa yang "nyambung" dengan anak muda.19 Pemuka agama perlu dilengkapi dengan keterampilan komunikasi digital dan pemahaman mendalam tentang tantangan spiritual di era modern.
Bagi Pemerintah:
- Penguatan Moderasi Beragama: Pemerintah harus terus memperjelas dan menyebarkan narasi moderasi beragama dan toleransi kepada anak-anak muda secara gencar 19, menjadikan mereka agen perubahan positif dalam masyarakat. Program-program ini harus terintegrasi dalam kurikulum pendidikan dan kampanye publik.
- Literasi Digital dan Keagamaan Kritis: Mengembangkan program literasi digital yang juga mencakup literasi keagamaan kritis untuk membantu generasi muda menyaring informasi, memahami agama dari berbagai sumber terpercaya, dan menghindari konten yang memicu intoleransi atau radikalisme.3 Ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan platform digital dan organisasi masyarakat sipil.
- Penegakan Hukum yang Adil: Memastikan bahwa kebebasan beragama dijamin secara praktik dan penegakan hukum tidak diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau non-mainstream, untuk mencegah intoleransi dan politisasi agama.8 Konsistensi dalam penegakan hukum akan membangun kepercayaan di kalangan masyarakat.
Bagi Orang Tua dan Pendidik:
- Peran Sentral dalam Pembentukan Keyakinan: Mengakui peran sentral orang tua dan guru agama sebagai pembentuk utama pemahaman dan kesadaran keagamaan anak muda.19 Lingkungan keluarga dan sekolah adalah fondasi awal bagi pengembangan spiritual dan moral anak.
- Bimbingan Holistik: Memberikan bimbingan spiritual yang holistik, yang tidak hanya berpusat pada teknologi tetapi juga mendorong kesadaran hidup beriman, pengendalian diri di era digital, dan relasi yang sehat dengan Tuhan dan sesama.5 Ini melibatkan dialog terbuka tentang tantangan dan peluang spiritual di era digital.
VII. Kesimpulan
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia adalah negara yang sangat religius, generasi mudanya, khususnya Generasi Z dan Milenial, menunjukkan kecenderungan yang meningkat terhadap spiritualitas personal yang fleksibel. Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia tidak selalu mengindikasikan sekularisasi atau penolakan agama, melainkan lebih merupakan bentuk "re-personalisasi" atau "re-interpretasi" keberagamaan yang didorong oleh kemudahan akses informasi digital dan keinginan untuk makna yang lebih otentik.
Terdapat paradoks menarik dalam sikap antar generasi, di mana Generasi Z, meskipun cenderung pada spiritualitas personal dan digital, menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi pada pemuka agama, sementara Generasi X menunjukkan tingkat kepercayaan terendah. Hal ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam engagement keagamaan antar generasi.
Tantangan utama adalah bagaimana mengelola privatisasi agama di era digital agar tidak mengarah pada intoleransi atau radikalisme, sambil tetap memupuk nilai-nilai toleransi dan persatuan nasional yang menjadi pilar kebangsaan Indonesia. Pengelolaan yang efektif terhadap hubungan yang berkembang antara spiritualitas dan agama di Indonesia memerlukan strategi nasional yang terkoordinasi. Strategi ini harus adaptif, mengakui fluiditas dan keragaman ekspresi spiritual kaum muda, sambil secara bersamaan memperkuat nilai-nilai dasar toleransi, pemikiran kritis, dan persatuan nasional. Ini adalah tentang menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan spiritual yang sehat yang berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Rekomendasi yang komprehensif diperlukan, berfokus pada adaptasi institusi keagamaan untuk menawarkan pengalaman spiritual yang relevan dan inklusif, peran proaktif pemerintah dalam mempromosikan moderasi beragama dan literasi digital, serta bimbingan holistik dari orang tua dan pendidik untuk membentuk generasi muda yang spiritual, toleran, dan bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
- "Spiritual but not Religious" | The Pluralism Project, diakses Juli 20, 2025, https://pluralism.org/spiritual-but-not-religious
- Spirituality and Religion: How Does the U.S. Compare With Other Countries?, diakses Juli 20, 2025, https://www.pewresearch.org/religion/2025/06/25/spirituality-and-religion-us-comparison-to-other-countries/
- Indonesia among most religious nations: Pew study - Sat, August 1, 2020 - The Jakarta Post, diakses Juli 20, 2025, https://www.thejakartapost.com/paper/2020/07/31/indonesia-among-most-religious-nations-pew-study.html
- Privatisasi Agama di Kalangan Muda Muslim Pada Era Disrupsi ..., diakses Juli 20, 2025, https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/DT/article/view/4029
- Spiritualitas Kaum Muda di Tengah Perkotaan dalam Era Digital: Bahasa Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/368558323_Spiritualitas_Kaum_Muda_di_Tengah_Perkotaan_dalam_Era_Digital_Bahasa_Indonesia
- Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/270492630_Islam_and_the_Changing_Meaning_of_Spiritualitas_and_Spiritual_in_Contemporary_Indonesia
- ISLAM AND THE CHANGING MEANING OF SPIRITUALITAS AND SPIRITUAL IN CONTEMPORARY INDONESIA1, diakses Juli 20, 2025, https://digilib.uin-suka.ac.id/9812/1/AHMAD%20MUTTAQIN%20ISLAM%20AND%20THE%20CHANGING%20MEANING%20OF%20SPIRITUALITAS%20AND%20SPIRITUAL%20IN%20CONTEMPORARY%20INDONESIA.pdf
- 5 facts about Muslims and Christians in Indonesia | Pew Research Center, diakses Juli 20, 2025, https://www.pewresearch.org/short-reads/2024/03/28/5-facts-about-muslims-and-christians-in-indonesia/
- Spiritual but not religious - Wikipedia, diakses Juli 20, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Spiritual_but_not_religious
- Spiritual Not Religious (in Bahasa Indonesia) - rike jokanan, diakses Juli 20, 2025, https://rikejokanan.com/2025/05/17/spiritual-not-religious-in-bahasa-indonesia/
- Spiritual But Not Religious (SBNR)? Bridge the Gap with Millennials-Part Two | Launching Leaders, diakses Juli 20, 2025, https://www.llworldwide.org/blog/spiritual-but-not-religious-sbnr-bridge-the-gap-with-millennials-part-two/
- 7 Macam Nama Generasi dan Tahunnya, serta Perbedaan Karakteristiknya - detikcom, diakses Juli 20, 2025, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7349623/7-macam-nama-generasi-dan-tahunnya-serta-perbedaan-karakteristiknya
- Generasi “Milenial” Dan Generasi “Kolonial” (kemenkeu.go.id) - Website DJKN, diakses Juli 20, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pontianak/baca-artikel/14262/Generasi-Milenial-Dan-Generasi-Kolonial.html
- Ipsos Generations Report 2024 - Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.ipsos.com/en-id/ipsos-generations-report-2024-indonesia
- Mengenal 6 Macam Generasi di Indonesia Sesuai Tahun Lahir, Kamu Termasuk yang Mana? - UICI, diakses Juli 20, 2025, https://uici.ac.id/mengenal-6-macam-generasi-di-indonesia-sesuai-tahun-lahir-kamu-termasuk-yang-mana/
- indonesia gen z report 2024 - IDN Times, diakses Juli 20, 2025, https://cdn.idntimes.com/content-documents/indonesia-gen-z-report-2024.pdf
- Preferences of Indonesian Gen-Z and Millennials (Zillennials) towards Sharia Hotels: A Quantitative Study - Atlantis Press, diakses Juli 20, 2025, https://www.atlantis-press.com/article/126008162.pdf
- (PDF) Book Review: Millenial and Generation Z Ideas for Golden Indonesia 2045 (Gagasan Millenial dan Generasi Z Untuk Indonesia Emas 2045) - ResearchGate, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/352328839_Book_Review_Millenial_and_Generation_Z_Ideas_for_Golden_Indonesia_2045_Gagasan_Millenial_dan_Generasi_Z_Untuk_Indonesia_Emas_2045
- SURVEI PERSEPSI DAN SIKAP GENERASI MUDA TERHADAP INTOLERANSI DAN EKSTREMISME 2020 - INFID, diakses Juli 20, 2025, https://infid.org/wp-content/uploads/2023/12/Executive-Summary-Survei-PERSEPSI-DAN-SIKAP-GENERASI-MUDA-1.pdf
- Riset INFID: Mayoritas Orang Muda Indonesia Toleran - Batukarinfo, diakses Juli 20, 2025, https://www.batukarinfo.com/komunitas/articles/riset-infid-mayoritas-orang-muda-indonesia-toleran
- Spiritual di Era Modern: Bagaimana Generasi Muda Menemukan Makna Hidup, diakses Juli 20, 2025, https://www.kompasiana.com/muchamadiqbalarief6170/669ea0bd34777c37c32d7a22/spiritual-di-era-modern-bagaimana-generasi-muda-menemukan-makna-hidup
- Membangun Spiritualitas Digital bagi Generasi Z | Subowo | DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani - STT Intheos Surakarta, diakses Juli 20, 2025, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/464
- (PDF) Spiritualitas Kekristenan Gen Z - ResearchGate, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/388360570_Spiritualitas_Kekristenan_Gen_Z
- SPIRITUALITAS KEKRISTENAN GEN Z: Perubahan Pola Penghayatan Iman Pada Generasi Digital | HUMANITIS: Jurnal Homaniora, Sosial dan Bisnis, diakses Juli 20, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/view/434
- KAJIAN STUDI SPIRITUALITAS GENERASI Z DALAM MENEMUKAN AUTENTISITAS DIRI DI ERA DIGITAL - Universitas Kristen Duta Wacana, diakses Juli 20, 2025, https://repository.ukdw.ac.id/8267/1/50210106_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf
- Gen Z Diingatkan Bahaya Politisasi Agama, Diajak Jadi Agen Moderasi Beragama, diakses Juli 20, 2025, https://kemenag.go.id/nasional/gen-z-diingatkan-bahaya-politisasi-agama-diajak-jadi-agen-moderasi-beragama-5ublwx
- Gen X Jadi Generasi yang Paling Tidak Percaya Pemuka Agama, Gen Z Paling Tinggi - Asumsi.co, diakses Juli 20, 2025, https://asumsi.co/post/98405/gen-x-jadi-generasi-yang-paling-tidak-percaya-terhadap-pemuka-agama-gen-z-paling-tinggi/
- Gen Z's Religiosity Level: A Comparative Study between Indonesia and the United Kingdom, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/389036930_Gen_Z's_Religiosity_Level_A_Comparative_Study_between_Indonesia_and_the_United_Kingdom
Dinamika Sikap Generasi Muda Indonesia terhadap Spiritualitas dan Agama: Analisis Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
I. Pendahuluan: Spiritualitas dan Agama di Tengah Dinamika Generasi Indonesia
Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai sikap generasi muda Indonesia, khususnya Generasi Z, Milenial, dan Generasi X, terhadap spiritualitas dan agama. Fokus utama diberikan pada fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR), mengidentifikasi karakteristik, pendorong, serta perbandingan sikap antar generasi dalam konteks sosial dan digital Indonesia. Pemahaman terhadap dinamika ini menjadi krusial mengingat peran sentral generasi muda dalam membentuk lanskap sosio-religius masa depan bangsa.
Latar Belakang: Pergeseran Paradigma Keberagamaan Global dan Konteks Indonesia
Secara global, terdapat pergeseran signifikan dalam cara individu memahami dan mempraktikkan keberagamaan, dengan peningkatan minat pada spiritualitas personal yang seringkali terpisah dari institusi agama formal. Diskusi global mengenai SBNR seringkali menyiratkan adanya penurunan afiliasi keagamaan tradisional dan peningkatan sekularisasi.1 Namun, konteks Indonesia, sebagai negara dengan tingkat religiusitas yang sangat tinggi, menawarkan dinamika yang unik dan berbeda dari tren Barat. Data dari Pew Research Center secara eksplisit menempatkan Indonesia sebagai pengecualian, menjadi salah satu negara paling religius di dunia, di mana hampir seluruh responden dewasa mengidentifikasi diri dengan suatu agama.2
Tingkat religiusitas yang tinggi ini merupakan faktor kontekstual yang mendasar. Mayoritas besar masyarakat Indonesia, sekitar 96%, mengaitkan kepercayaan pada Tuhan dengan moralitas dan nilai-nilai baik. Selain itu, 98% responden menganggap agama, 91% menganggap Tuhan, dan 95% menganggap doa sebagai bagian penting dari hidup mereka.3 Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fenomena SBNR mungkin muncul di Indonesia, kemungkinan besar tidak akan menandakan penolakan agama secara luas atau pergerakan menuju sekularisme. Sebaliknya, kondisi ini menyiratkan adanya reinterpretasi atau diferensiasi ekspresi keagamaan di dalam kerangka masyarakat yang sangat religius. Fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk "re-personalisasi keagamaan" atau "privatisasi agama" 4, di mana individu mencari makna yang lebih dalam dan otentik di dalam atau di samping kerangka keagamaan yang ada. Pendekatan ini menantang narasi SBNR konvensional ala Barat dan menuntut pemahaman yang lebih bernuansa, disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Tujuan Laporan: Menganalisis Sikap Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap Spiritualitas vs. Agama, dengan Fokus pada Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis mendalam mengenai bagaimana generasi-generasi kunci di Indonesia—Generasi Z, Milenial, dan Gen X—memandang hubungan antara spiritualitas dan agama. Fokus khusus akan diberikan pada kelompok "Spiritual But Not Religious" (SBNR), mengidentifikasi karakteristik, pendorong, serta perbandingan sikap antar generasi dalam konteks sosial dan digital Indonesia.
Definisi Konseptual: Spiritualitas, Agama, dan "Spiritual But Not Religious" (SBNR)
Untuk analisis yang komprehensif, penting untuk memahami definisi konseptual dari istilah-istilah kunci yang digunakan dalam laporan ini.
Spiritualitas merujuk pada pencarian makna, tujuan, dan koneksi dengan sesuatu yang transenden atau lebih besar dari diri sendiri. Konsep ini dapat bersifat personal dan tidak selalu terikat pada dogma atau ritual agama tertentu. Kata "spiritualitas" sendiri berasal dari kata Ibrani "ruach" yang berarti "roh" atau "sesuatu yang memberikan kehidupan maupun semangat".5 Di Indonesia, istilah "spiritualitas" telah mengalami perubahan makna yang menarik. Berbeda dengan tren di Barat di mana pertumbuhan spiritualitas seringkali berkorelasi dengan menurunnya afiliasi dan partisipasi agama, di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak menjadi "sponsor" spiritualitas.6 Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas di Indonesia seringkali dipahami dan dipraktikkan dalam kerangka keagamaan yang sudah mapan, bukan sebagai alternatif yang terpisah.
Agama mengacu pada sistem kepercayaan dan praktik yang terorganisir, seringkali melibatkan institusi, ritual, dogma, dan komunitas. Di Indonesia, agama sangat formal dan diatur oleh negara. Setiap warga negara wajib mencantumkan salah satu dari enam agama resmi pada kartu identitas nasional (KTP), dan "tidak beragama" bukanlah pilihan yang tersedia.8 Regulasi ini mencerminkan peran agama yang sangat terlembaga dalam struktur sosial dan politik Indonesia.
"Spiritual But Not Religious" (SBNR) adalah frasa yang digunakan untuk mengidentifikasi pandangan hidup yang mengutamakan spiritualitas tanpa menganggap agama terorganisir sebagai satu-satunya atau cara paling berharga untuk mencapai tujuan spiritual.9 Karakteristik umum SBNR meliputi sifat anti-institusional dan personal, menghargai rasa ingin tahu, kebebasan intelektual, dan pendekatan eksperimental terhadap agama. Banyak penganut SBNR global memandang agama terorganisir sebagai musuh spiritualitas otentik, mengklaim spiritualitas adalah refleksi dan pengalaman pribadi, bukan ritual publik.9
Namun, dalam konteks Indonesia yang sangat religius, manifestasi SBNR memiliki corak yang bernuansa. SBNR di sini mungkin tidak selalu berarti penolakan total terhadap agama. Sebaliknya, ini bisa bermanifestasi sebagai individu yang "lebih bermuatan spiritual daripada religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber nilai moral dan panduan hidup.10 Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak "mensponsori" spiritualitas, berbeda dengan tren Barat di mana SBNR seringkali menandakan penurunan afiliasi agama.6 Ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia lebih merupakan upaya untuk menyatukan spiritualitas dan religiusitas, menciptakan "spiritualitas terintegrasi" daripada yang terpisah.11 Pemahaman ini sangat penting karena mendefinisikan ulang bagaimana SBNR harus dipahami di Indonesia. Ini bukan ancaman eksistensial bagi institusi keagamaan, melainkan sebuah evolusi dalam cara individu mencari makna. Organisasi keagamaan dapat berhasil dengan menekankan inti spiritual dari ajaran mereka dan menawarkan jalur pertumbuhan spiritual pribadi yang dapat diintegrasikan dengan praktik tradisional.
II. Profil Demografi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia
Indonesia saat ini menikmati bonus demografi yang signifikan, dengan Generasi Z dan Milenial membentuk segmen terbesar dari populasi usia produktif. Pemahaman akan komposisi demografi ini sangat penting untuk menganalisis sikap keberagamaan mereka, karena preferensi, nilai, dan perilaku kelompok-kelompok ini akan secara tidak proporsional membentuk lanskap sosio-religius bangsa di masa depan.
Rentang Usia dan Proporsi Populasi Nasional
Untuk analisis ini, rentang usia generasi didasarkan pada data tahun 2020, yang konsisten dengan data populasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber lainnya. Generasi X umumnya lahir antara 1965-1979 12 atau 1965-1980 13, sehingga pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 40-55 tahun.13 Generasi Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) lahir antara 1980-1994 12 atau 1981-1996 13, dan pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 24-39 tahun.13 Sementara itu, Generasi Z lahir antara 1995-2009 12 atau 1997-2012 13, yang berarti pada tahun 2020 mereka berusia sekitar 8-23 tahun.13 Meskipun ada sedikit variasi rentang tahun di beberapa sumber, seperti Ipsos 14, rentang yang disebutkan di atas digunakan untuk konsistensi dengan data populasi.
Dalam hal proporsi populasi nasional, Generasi Z merupakan kelompok generasi terbesar di Indonesia, berjumlah 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total penduduk.15 Generasi Milenial menyusul sebagai kelompok terbesar kedua, dengan 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari total penduduk.15 Generasi X berjumlah 58,65 juta jiwa atau 21,88% dari total penduduk.15 Secara kolektif, Generasi Z dan Milenial mendominasi populasi produktif Indonesia, mencapai lebih dari 50% dari total penduduk.17 Dominasi demografi ini menunjukkan bahwa sikap dan pandangan mereka terhadap spiritualitas dan agama akan sangat menentukan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa mendatang. Ukuran dan kemudaan generasi ini menyoroti urgensi untuk memahami dinamika spiritual dan keagamaan mereka. Bagi pembuat kebijakan, institusi keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil, memahami dan menanggapi kebutuhan serta perspektif kelompok-kelompok ini bukan hanya latihan akademis, tetapi keharusan kritis untuk menjaga kohesi sosial, memupuk identitas nasional 18, dan memastikan relevansi kehidupan beragama di Indonesia. Pilihan kolektif mereka akan menentukan lintasan praktik dan kepercayaan beragama selama beberapa dekade mendatang.
Berikut adalah tabel yang merangkum data populasi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia berdasarkan data tahun 2020:
Tabel 1: Data Populasi Generasi Z, Milenial, dan Gen X di Indonesia (2020)
Generasi | Rentang Tahun Lahir (berdasarkan 2020) | Perkiraan Usia (pada 2020) | Jumlah Populasi (jiwa) | Persentase terhadap Total Penduduk (%) |
Generasi X | 1965-1979/1980 | 40-55 tahun | 58.650.000 | 21,88% |
Milenial | 1980-1994/1996 | 24-39 tahun | 69.380.000 | 25,87% |
Generasi Z | 1995-2009/2012 | 8-23 tahun | 74.930.000 | 27,94% |
Sumber: 12
III. Lanskap Keberagamaan Umum Generasi Muda Indonesia
Masyarakat Indonesia, termasuk generasi mudanya, dikenal memiliki tingkat religiusitas yang sangat tinggi. Karakteristik ini menjadi fondasi penting dalam memahami bagaimana spiritualitas dan agama dipahami serta dipraktikkan di negara ini.
Tingkat Religiusitas dan Pentingnya Agama dalam Identitas Personal
Survei Pew Research Center pada tahun 2020 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling religius di dunia.3 Hampir seluruh responden Indonesia, yaitu 96%, menyatakan bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah prasyarat untuk menjadi bermoral dan memiliki nilai-nilai yang baik. Selain itu, mayoritas responden menganggap agama (98%), Tuhan (91%), dan doa (95%) sebagai bagian penting dari hidup mereka.3 Angka-angka ini secara konsisten menunjukkan tingginya tingkat ketaatan beragama di kalangan masyarakat Indonesia.
Senada dengan temuan tersebut, survei INFID pada tahun 2020 yang melibatkan generasi muda Indonesia (usia 18-30 tahun, yang sebagian besar termasuk Generasi Z dan Milenial muda) mengungkapkan bahwa 86,8% responden mengaku taat atau sangat taat dalam menjalankan ibadah agama. Agama juga diidentifikasi sebagai bagian penting dalam pembentukan identitas personal generasi muda ini.19 Tingkat religiusitas yang luar biasa tinggi ini merupakan faktor kontekstual yang sangat penting. Apabila kecenderungan SBNR diamati dalam populasi ini, hal tersebut tidak mungkin mewakili penolakan total terhadap iman atau pergerakan menuju sekularisme. Sebaliknya, SBNR di Indonesia harus dipahami sebagai manifestasi yang terjadi di dalam masyarakat yang sangat religius, di mana identitas keagamaan kuat dan seringkali diformalkan.8 Hal ini menunjukkan bahwa SBNR lebih merupakan kalibrasi ulang atau personalisasi iman, di mana individu mencari makna yang lebih dalam atau ekspresi alternatif di dalam atau di samping kerangka keagamaan yang ada, bukan pelepasan total dari kepercayaan beragama. Ini menyiratkan bahwa institusi keagamaan masih memiliki modal budaya dan sosial yang signifikan, meskipun bentuk tradisional mereka mungkin sedang dievaluasi ulang oleh generasi muda.
Persepsi terhadap Toleransi dan Intoleransi Beragama
Meskipun memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, terdapat dinamika dan ambivalensi yang menarik dalam isu toleransi beragama di Indonesia. Survei INFID pada tahun 2020 menunjukkan penolakan kuat generasi muda terhadap tindakan kekerasan bermotif agama, dengan 94,4% responden menyatakan tidak setuju. Selain itu, 93% responden secara umum menyatakan setuju dengan toleransi.19 Ini menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya menghindari kekerasan dalam konteks keberagamaan.
Namun, survei yang sama juga menemukan kecenderungan kuat di kalangan generasi muda untuk menerima intoleransi terhadap kelompok keyakinan minoritas non-mainstream atau yang secara populer disebut "kelompok sesat".19 Temuan ini mengungkapkan sebuah paradoks: generasi muda Indonesia menolak kekerasan yang dimotivasi oleh agama, namun pada saat yang sama menunjukkan kecenderungan untuk menerima stigmatisasi atau pengucilan sosial terhadap kelompok keyakinan yang dianggap menyimpang. Hal ini mengindikasikan adanya kegamangan dalam isu-isu intoleransi, di mana penolakan kekerasan tidak selalu berarti penerimaan penuh terhadap keragaman keyakinan.
Konteks regulasi agama di Indonesia juga relevan dalam membentuk dinamika ini. Meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, negara mengatur secara ketat, mewajibkan warga negara mencantumkan salah satu dari enam agama resmi pada KTP. Individu yang tidak mencantumkan agama atau memilih agama di luar yang diakui dapat menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan publik.8 Kondisi ini menciptakan tekanan untuk konformitas keagamaan. Sikap bernuansa terhadap toleransi ini menciptakan lingkungan yang menantang bagi individu yang mengidentifikasi diri sebagai SBNR, terutama jika eksplorasi spiritual mereka mengarah pada ekspresi yang tidak ortodoks atau non-mainstream.9 Tekanan sosial dan pemerintah untuk afiliasi keagamaan formal, dikombinasikan dengan kesediaan untuk mentolerir intoleransi terhadap kelompok "menyimpang", dapat mendorong ekspresi SBNR ke bawah tanah atau membatasi manifestasi publiknya. Hal ini menyoroti potensi ketegangan antara kebebasan spiritual individu dan ekspektasi masyarakat akan konformitas keagamaan, yang menimbulkan tantangan bagi pluralisme agama yang otentik.
IV. Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia: Karakteristik dan Pendorong
Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia menunjukkan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tren global, terutama di negara-negara Barat. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh konteks sosio-religius Indonesia yang unik.
Definisi dan Manifestasi SBNR dalam Konteks Indonesia
Secara umum, SBNR adalah pandangan hidup yang mengutamakan spiritualitas personal dan pengalaman batin di atas dogma dan ritual agama terorganisir, seringkali dengan sikap anti-institusional.9 Penganut SBNR global menghargai rasa ingin tahu, kebebasan intelektual, dan pendekatan eksperimental terhadap agama, bahkan memandang agama terorganisir sebagai penghalang spiritualitas otentik.9
Namun, di Indonesia, manifestasi SBNR memiliki corak yang unik. Alih-alih penolakan total terhadap agama, SBNR di sini dapat berarti seseorang yang "lebih bermuatan spiritual daripada religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber untuk memahami bagaimana menjalani hidup dan berinteraksi dengan sesama.10 Studi juga menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama, khususnya Islam, justru tampak "mensponsori" spiritualitas, berbeda dengan tren Barat di mana spiritualitas berkorelasi dengan menurunnya afiliasi agama.6 Hal ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia lebih merupakan upaya untuk mengintegrasikan spiritualitas personal dengan warisan keagamaan, bukan memisahkannya sepenuhnya.11
Pemahaman konvensional tentang SBNR di Barat sering mengaitkannya dengan sekularisasi dan penurunan afiliasi keagamaan.1 Namun, data menunjukkan bahwa di Indonesia, agama-agama arus utama justru menyerap atau mensponsori spiritualitas. Hal ini diperkuat oleh individu yang mengidentifikasi diri sebagai "tidak religius" tetapi tetap menggunakan agama sebagai sumber panduan moral.10 Ini menunjukkan bahwa SBNR di Indonesia bukan tentang meninggalkan iman, melainkan tentang keterlibatan kembali yang dipersonalisasi dengannya, seringkali mencari makna yang lebih dalam di luar kekakuan institusional sambil tetap mengambil dari tradisi keagamaan yang mapan. Ini merupakan re-personalisasi iman daripada pergerakan menuju irreligiusitas. Karakteristik SBNR yang unik ini berarti bahwa institusi keagamaan mungkin tidak menghadapi ancaman eksistensial yang sama seperti di Barat. Sebaliknya, tantangan dan peluang terletak pada adaptasi terhadap keinginan akan pengalaman spiritual yang dipersonalisasi dan otentik. Institusi yang dapat menekankan inti spiritual dari ajaran mereka dan menawarkan jalur yang fleksibel untuk keterlibatan, seperti menjadikan spiritualitas sebagai tema sentral dan memberi ruang bagi ekspresi iman yang beragam tanpa menghakimi, lebih mungkin untuk menarik dan mempertahankan individu-individu ini.11
Faktor Pendorong: Pengaruh Teknologi Digital dan Privatisasi Agama
Kemajuan teknologi dan internet telah menjadi pendorong utama dalam membentuk spiritualitas kontemporer di Indonesia. Kemudahan akses informasi memungkinkan kaum muda untuk mencari dan berbagi berbagai bentuk spiritualitas, dari meditasi mindfulness, yoga, hingga refleksi diri melalui journaling.21 Aplikasi meditasi, podcast, dan blog tentang kesehatan mental dan spiritual telah menjadi sumber inspirasi dan panduan yang mudah diakses.21
Cyberspace bahkan telah menjadi bagian integral dari spiritualitas Generasi Z.22 Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi ini juga dapat menyebabkan kurangnya kesadaran akan spiritualitas tradisional jika tidak diimbangi.5
Era digital juga memfasilitasi "privatisasi agama," di mana individu, khususnya pemuda Muslim, mengembangkan pemikiran sendiri tentang paham keagamaan karena akses akut terhadap media sosial dan konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.4 Pergeseran dari keberagamaan komunal ke yang lebih individual ini berpotensi memicu intoleransi dan radikalisme jika tidak diimbangi dengan literasi dan bimbingan yang memadai.4
Dampak digitalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, keterlibatan Generasi Z dengan platform digital memfasilitasi eksplorasi spiritual yang sangat personal, fleksibel, dan terhubung secara global.21 Ini sejalan dengan etos SBNR dalam pencarian makna individu. Namun, di sisi lain, "privatisasi agama" melalui konten media sosial yang tidak terverifikasi dapat, secara paradoks, mengarah pada intoleransi dan radikalisme.4 Hal ini mengungkapkan ketegangan krusial: alat yang sama yang memungkinkan pertumbuhan spiritual individu juga dapat mengekspos kaum muda pada interpretasi yang berbahaya dan tidak dimoderasi, berpotensi memecah belah kohesi sosial. Sifat ganda digitalisasi ini menghadirkan tantangan signifikan bagi para pemimpin agama, pendidik, dan lembaga pemerintah. Sekadar memungkinkan akses digital untuk konten spiritual tidaklah cukup. Ada kebutuhan mendesak untuk secara aktif terlibat dalam ruang digital, tidak hanya untuk menyebarkan pesan moderasi beragama 26 tetapi juga untuk memupuk literasi keagamaan kritis di kalangan pemuda.3 Pendekatan proaktif ini dapat membantu mereka membedakan panduan spiritual yang dapat diandalkan dari konten yang berpotensi berbahaya, mengurangi risiko interpretasi pribadi yang tidak terkendali yang mengarah pada ekstremisme.
Perbandingan SBNR Indonesia dengan Tren Global
Di negara-negara Barat, pertumbuhan SBNR sering dikaitkan dengan penolakan terhadap agama terorganisir dan penurunan afiliasi keagamaan.1 Ini seringkali dilihat sebagai indikator sekularisasi masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun ada tren pencarian spiritualitas personal, tingkat religiusitas keseluruhan tetap tinggi.3 Fenomena SBNR di Indonesia lebih mencerminkan adaptasi dan re-interpretasi keberagamaan di mana agama-agama arus utama justru mengadopsi atau mensponsori spiritualitas, bukan sebaliknya.6 Oleh karena itu, SBNR di Indonesia mungkin lebih merupakan evolusi dalam ekspresi keberagamaan yang bertujuan untuk memperdalam makna personal dalam kerangka yang ada, daripada indikasi sekularisasi atau penolakan agama secara fundamental.
V. Perbandingan Sikap Spiritualitas vs. Agama Antar Generasi
Sikap terhadap spiritualitas dan agama di Indonesia menunjukkan variasi yang menarik antar generasi, mencerminkan pengalaman hidup, lingkungan sosial, dan paparan teknologi yang berbeda.
A. Generasi Z (Lahir 1995-2012)
Generasi Z, sebagai "digital native," menunjukkan pola keberagamaan yang unik, yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi.
Sikap terhadap Institusi Agama dan Pemuka Agama
Secara mengejutkan, Generasi Z di Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap pemuka agama (35%) dibandingkan Milenial (33%), Boomer (32%), dan Gen X (31%).27 Temuan ini kontras dengan narasi umum SBNR di Barat yang sering mengaitkan generasi muda dengan ketidakpercayaan institusional.9 Tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada pemimpin agama ini merupakan sebuah kontradiksi yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka mengejar pengalaman spiritual yang personal dan fleksibel 21, Generasi Z masih menghargai bimbingan dan otoritas yang diberikan oleh tokoh agama. Hal ini mungkin berasal dari pola asuh mereka, pencarian panduan otentik di dunia digital yang kompleks, atau keinginan untuk terhubung dalam kerangka yang terpercaya. Temuan ini menantang pandangan sederhana bahwa SBNR semata-mata merupakan penolakan terhadap otoritas agama. Sebaliknya, hal ini menyiratkan bahwa Generasi Z mungkin mencari jenis kepemimpinan keagamaan yang berbeda—yang dianggap otentik, inklusif, dan mampu menavigasi kompleksitas era digital.26 Institusi keagamaan dapat memanfaatkan kepercayaan ini dengan menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan Generasi Z akan pertumbuhan spiritual pribadi dan panduan yang kredibel, menekankan relevansi dan keaslian di atas dogma yang kaku.
Pola Penghayatan Spiritualitas Personal dan Fleksibel di Era Digital
Generasi Z secara inheren terhubung dengan teknologi, yang mempengaruhi cara mereka menghayati spiritualitas. Mereka cenderung mencari pengalaman spiritual yang lebih personal, fleksibel, dan terhubung secara global.23 Mereka aktif memanfaatkan teknologi digital, seperti aplikasi meditasi, podcast, dan blog tentang kesehatan mental dan spiritual, sebagai sumber inspirasi dan panduan dalam menggali spiritualitas.21 Penghayatan spiritualitas mereka bahkan telah memunculkan corak "spiritualitas digitalis" yang unik dan otentik, di mana cyberspace telah menjadi bagian integral dari spiritualitas mereka.22 Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa mereka tetap mempertahankan nilai-nilai inti keagamaan (misalnya, nilai-nilai Kristen dalam studi spesifik) meskipun dalam bentuk yang lebih terfragmentasi dan adaptif sebagai respons terhadap kemajuan teknologi.23 Tingginya tingkat religiusitas Muslim Generasi Z di Indonesia (83%) juga dikaitkan dengan latar belakang pendidikan agama mereka.28
Kecenderungan terhadap Moderasi Beragama dan Tantangan Politisasi Agama
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, secara aktif mengingatkan Generasi Z akan bahaya politisasi agama dan mendorong mereka untuk menjadi agen moderasi beragama.26 Hal ini mencerminkan kekhawatiran akan kerentanan generasi ini terhadap ekstremisme berbasis agama, meskipun mereka secara umum menolak tindakan kekerasan bermotif agama.19 Fenomena "privatisasi agama" di kalangan pemuda Muslim, yang didorong oleh akses media sosial yang akut dan konten yang tidak terverifikasi, dapat memicu intoleransi dan radikalisme.4 Ini menunjukkan bahwa personalisasi spiritualitas tanpa bimbingan dan literasi yang tepat dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap kohesi sosial. Tantangan ganda spiritualitas digital ini menuntut pendekatan proaktif dari para pemimpin agama dan pendidik. Diperlukan keterlibatan aktif dalam ruang digital, tidak hanya untuk melawan narasi radikal tetapi juga untuk memberikan panduan spiritual yang kredibel, inklusif, dan bernuansa yang sesuai dengan kepekaan Generasi Z sebagai digital native. Ini melibatkan promosi literasi keagamaan kritis dan pembentukan komunitas daring yang mendukung pengembangan spiritual yang moderat dan toleran.
B. Generasi Milenial (Lahir 1980-1996)
Generasi Milenial, yang berada di antara Generasi X dan Generasi Z, menunjukkan karakteristik transisional dalam sikap mereka terhadap spiritualitas dan agama.
Pencarian Makna Hidup dan Keterbukaan terhadap Berbagai Bentuk Spiritualitas
Generasi Milenial, seperti Generasi Z, juga menunjukkan kecenderungan kuat dalam pencarian makna hidup yang lebih dalam dan keterbukaan terhadap berbagai bentuk spiritualitas. Mereka sangat menghargai pengalaman menemukan Yang Ilahi melalui studi dan meditasi; sekitar 40% Milenial menilai doa dan meditasi sebagai kunci penting dalam pengalaman spiritual mereka.11 Mereka cenderung melihat spiritualitas dan religiusitas sebagai sesuatu yang tidak saling eksklusif, melainkan dapat disatukan untuk mencapai pengalaman ilahi yang lebih memuaskan.11
Sikap terhadap Institusi Keagamaan dan Inklusivitas
Milenial menunjukkan tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap pemuka agama (33%), menempatkan mereka di posisi kedua setelah Generasi Z.27 Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih memiliki koneksi dan kepercayaan pada institusi keagamaan, meskipun mungkin dengan ekspektasi yang berbeda. Mereka cenderung menyukai inklusi daripada eksklusi dalam konteks keberagamaan, mencari cara untuk menjembatani kesenjangan antara spiritualitas personal dan agama terorganisir.11 Preferensi mereka terhadap hotel syariah juga menunjukkan adanya motivasi religius dan minat pada fasilitas yang ramah Muslim 17, yang mengindikasikan bahwa religiusitas tetap menjadi bagian penting dari identitas dan pilihan gaya hidup mereka. Milenial mewakili demografi krusial bagi institusi keagamaan. Keinginan mereka akan keaslian, inklusi, dan pengalaman spiritual yang lebih dalam 11 berarti bahwa institusi yang dapat beradaptasi untuk menawarkan bentuk ibadah yang lebih bermakna, tidak terlalu dogmatis, dan kaya pengalaman kemungkinan besar akan mempertahankan atau menarik generasi ini. Ini menunjukkan perlunya para pemimpin agama untuk menekankan inti spiritual dari tradisi mereka dan menciptakan lingkungan di mana eksplorasi pribadi dan integrasi iman ke dalam kehidupan sehari-hari didorong.
C. Generasi X (Lahir 1965-1979/1980)
Generasi X, yang tumbuh di era transisi sebelum dominasi digital, menunjukkan sikap yang lebih skeptis terhadap otoritas keagamaan formal.
Tingkat Kepercayaan terhadap Pemuka Agama (Terendah)
Generasi X menunjukkan tingkat kepercayaan paling rendah terhadap pemuka agama (31%) dibandingkan Generasi Z, Milenial, dan Baby Boomer.27 Temuan ini menempatkan mereka sebagai generasi yang paling skeptis terhadap otoritas keagamaan formal di antara kelompok-kelompok yang disurvei. Tingkat kepercayaan yang lebih rendah ini sangat penting karena menantang asumsi linear bahwa kecenderungan SBNR meningkat seiring dengan generasi yang lebih muda. Skeptisisme mereka, dibandingkan dengan generasi yang lebih tua (Boomer) dan lebih muda (Milenial, Generasi Z), menunjukkan respons generasi yang unik. Kepercayaan yang lebih rendah ini mungkin terkait dengan konteks historis mereka, karena telah mengalami kecemasan sosial dan ekonomi yang signifikan pada akhir 80-an dan 90-an 12, yang dapat menumbuhkan pendekatan yang lebih mandiri dan mengandalkan diri sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk iman.
Kemandirian dan Ketangguhan dalam Menjalani Kehidupan Beragama
Meskipun data eksplisit tentang spiritualitas Generasi X tidak sebanyak generasi yang lebih muda, karakteristik umum mereka dikenal sebagai individu yang mandiri dan tangguh, yang telah mengalami berbagai kecemasan dan krisis ekonomi pada akhir 80-an hingga 90-an.12 Sifat kemandirian ini kemungkinan besar tercermin dalam pendekatan mereka terhadap keberagamaan, yang mungkin lebih bersifat personal dan tidak terlalu bergantung pada struktur formal atau bimbingan institusional. Hal ini menggarisbawahi bahwa pengalaman generasi adalah pembentuk kuat sikap keagamaan. Bagi Generasi X, ketahanan dan pragmatisme mereka kemungkinan besar mengarah pada iman pribadi yang menghargai keaslian dan pengalaman langsung. Ini berarti bahwa strategi penjangkauan dan keterlibatan keagamaan harus disesuaikan, mengakui bahwa pendekatan "satu ukuran untuk semua" tidak akan sesuai di seluruh generasi. Bagi Generasi X, penekanan pada penerapan iman secara praktis dan dukungan berbasis komunitas mungkin lebih efektif daripada pengajaran yang murni dogmatis.
Berikut adalah tabel yang menyajikan perbandingan sikap utama Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap spiritualitas dan agama:
Tabel 2: Perbandingan Sikap Utama Generasi Z, Milenial, dan Gen X terhadap Spiritualitas dan Agama
Generasi | Rentang Usia (berdasarkan 2020) | Proporsi Populasi (%) | Tingkat Kepercayaan pada Pemuka Agama (%) | Karakteristik Spiritualitas/Agama Utama | Keterlibatan Digital dalam Spiritualitas | Isu Utama yang Mempengaruhi Pandangan |
Generasi Z | 8-23 tahun | 27,94% | 35% (Tertinggi) | Personal, Fleksibel, Digitalis | Tinggi | Politisasi Agama, Privatisasi Agama, Intoleransi |
Milenial | 24-39 tahun | 25,87% | 33% (Kedua Tertinggi) | Pencarian Makna, Inklusif, Terintegrasi | Sedang | Inklusivitas, Relevansi Institusi |
Generasi X | 40-55 tahun | 21,88% | 31% (Terendah) | Mandiri, Pragmatis, Kurang Institusional | Rendah/Tidak Spesifik | Otoritas Institusi, Pengalaman Hidup |
Sumber: 4
VI. Implikasi dan Rekomendasi
Dinamika sikap generasi muda Indonesia terhadap spiritualitas dan agama, terutama munculnya fenomena SBNR, memiliki implikasi signifikan terhadap kohesi sosial dan lanskap keagamaan nasional.
Dampak terhadap Kohesi Sosial dan Dinamika Keagamaan Nasional
Munculnya fenomena SBNR dan tren privatisasi agama, terutama di kalangan generasi muda, memiliki dampak ganda terhadap kohesi sosial dan dinamika keagamaan nasional. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong bentuk keberagamaan yang lebih otentik, personal, dan inklusif, berpotensi mengurangi formalisme dan dogmatisme yang kaku.11 Ini dapat membuka jalan bagi dialog antar iman yang lebih mendalam dan pemahaman yang lebih luas tentang spiritualitas.
Namun, di sisi lain, jika personalisasi ini tidak diimbangi dengan literasi keagamaan yang memadai dan bimbingan yang tepat, terutama di tengah banjir informasi di media sosial yang tidak terverifikasi, privatisasi agama berisiko memicu intoleransi dan radikalisme.4 Hal ini dapat mengikis nilai-nilai toleransi yang telah disepakati, seperti yang terlihat dari ambivalensi generasi muda terhadap kelompok keyakinan minoritas.19
Analisis ini mengungkapkan interaksi yang kompleks: keinginan yang berkembang untuk spiritualitas pribadi yang fleksibel 21 adalah evolusi alami di era digital, namun "privatisasi agama" ini 4 membawa risiko yang melekat untuk mengarah pada intoleransi dan fragmentasi jika tidak dibimbing. Ini menciptakan ketegangan kritis antara kebebasan spiritual individu dan harmoni sosial kolektif. Tantangannya bukanlah untuk menekan spiritualitas pribadi, tetapi untuk mengintegrasikannya secara konstruktif dalam kerangka yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasional seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.18 Potensi bonus demografi juga harus diiringi dengan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, termasuk dalam aspek sosio-kultural dan keagamaan.18 Masa depan kerukunan beragama dan persatuan nasional di Indonesia sangat bergantung pada seberapa efektif keseimbangan ini dikelola. Hal ini memerlukan pendekatan proaktif, bukan reaktif, dari semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perjalanan spiritual individu berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara lebih luas, daripada mengurangi. Ini menyiratkan kebutuhan akan adaptasi dinamis dari institusi keagamaan dan panduan strategis dari pemerintah.
Rekomendasi bagi Institusi Keagamaan, Pemerintah, dan Pemangku Kepentingan
Mengingat kompleksitas dinamika keberagamaan generasi muda, pendekatan multi-stakeholder yang terkoordinasi sangat diperlukan.
Bagi Institusi Keagamaan:
- Adaptasi dan Inovasi Konten: Institusi keagamaan perlu mengembangkan pendekatan yang lebih relevan dan kontekstual untuk membimbing spiritualitas generasi digital, mengakui bahwa cyberspace adalah bagian dari spiritualitas mereka.22 Ini termasuk menciptakan konten yang menarik dan mudah diakses di platform digital, serta memanfaatkan format yang disukai generasi muda seperti
podcast, video pendek, dan aplikasi interaktif. - Integrasi Spiritualitas dan Agama: Penting untuk menekankan aspek spiritual dalam praktik keagamaan. Institusi dapat menawarkan ruang untuk meditasi, refleksi personal, dan menjelaskan makna di balik ritual untuk memperkaya pengalaman ibadah. Hal ini sejalan dengan keinginan Milenial untuk menyatukan agama dan spiritualitas 11, serta dapat menarik Generasi Z yang mencari pengalaman personal.
- Keterbukaan dan Inklusivitas: Mendorong dialog antar iman dan menciptakan lingkungan yang inklusif, mengakomodasi keragaman ekspresi spiritual tanpa menghakimi kedalaman iman seseorang.11 Ini krusial untuk merespons ambivalensi terhadap toleransi yang ditemukan di kalangan generasi muda.19
- Pelatihan Pemuka Agama: Memproduksi dai atau pemuka agama muda yang moderat, inklusif, toleran, dan mampu menyuarakan perdamaian dengan penampilan dan bahasa yang "nyambung" dengan anak muda.19 Pemuka agama perlu dilengkapi dengan keterampilan komunikasi digital dan pemahaman mendalam tentang tantangan spiritual di era modern.
Bagi Pemerintah:
- Penguatan Moderasi Beragama: Pemerintah harus terus memperjelas dan menyebarkan narasi moderasi beragama dan toleransi kepada anak-anak muda secara gencar 19, menjadikan mereka agen perubahan positif dalam masyarakat. Program-program ini harus terintegrasi dalam kurikulum pendidikan dan kampanye publik.
- Literasi Digital dan Keagamaan Kritis: Mengembangkan program literasi digital yang juga mencakup literasi keagamaan kritis untuk membantu generasi muda menyaring informasi, memahami agama dari berbagai sumber terpercaya, dan menghindari konten yang memicu intoleransi atau radikalisme.3 Ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan platform digital dan organisasi masyarakat sipil.
- Penegakan Hukum yang Adil: Memastikan bahwa kebebasan beragama dijamin secara praktik dan penegakan hukum tidak diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau non-mainstream, untuk mencegah intoleransi dan politisasi agama.8 Konsistensi dalam penegakan hukum akan membangun kepercayaan di kalangan masyarakat.
Bagi Orang Tua dan Pendidik:
- Peran Sentral dalam Pembentukan Keyakinan: Mengakui peran sentral orang tua dan guru agama sebagai pembentuk utama pemahaman dan kesadaran keagamaan anak muda.19 Lingkungan keluarga dan sekolah adalah fondasi awal bagi pengembangan spiritual dan moral anak.
- Bimbingan Holistik: Memberikan bimbingan spiritual yang holistik, yang tidak hanya berpusat pada teknologi tetapi juga mendorong kesadaran hidup beriman, pengendalian diri di era digital, dan relasi yang sehat dengan Tuhan dan sesama.5 Ini melibatkan dialog terbuka tentang tantangan dan peluang spiritual di era digital.
VII. Kesimpulan
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia adalah negara yang sangat religius, generasi mudanya, khususnya Generasi Z dan Milenial, menunjukkan kecenderungan yang meningkat terhadap spiritualitas personal yang fleksibel. Fenomena "Spiritual But Not Religious" (SBNR) di Indonesia tidak selalu mengindikasikan sekularisasi atau penolakan agama, melainkan lebih merupakan bentuk "re-personalisasi" atau "re-interpretasi" keberagamaan yang didorong oleh kemudahan akses informasi digital dan keinginan untuk makna yang lebih otentik.
Terdapat paradoks menarik dalam sikap antar generasi, di mana Generasi Z, meskipun cenderung pada spiritualitas personal dan digital, menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi pada pemuka agama, sementara Generasi X menunjukkan tingkat kepercayaan terendah. Hal ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam engagement keagamaan antar generasi.
Tantangan utama adalah bagaimana mengelola privatisasi agama di era digital agar tidak mengarah pada intoleransi atau radikalisme, sambil tetap memupuk nilai-nilai toleransi dan persatuan nasional yang menjadi pilar kebangsaan Indonesia. Pengelolaan yang efektif terhadap hubungan yang berkembang antara spiritualitas dan agama di Indonesia memerlukan strategi nasional yang terkoordinasi. Strategi ini harus adaptif, mengakui fluiditas dan keragaman ekspresi spiritual kaum muda, sambil secara bersamaan memperkuat nilai-nilai dasar toleransi, pemikiran kritis, dan persatuan nasional. Ini adalah tentang menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan spiritual yang sehat yang berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Rekomendasi yang komprehensif diperlukan, berfokus pada adaptasi institusi keagamaan untuk menawarkan pengalaman spiritual yang relevan dan inklusif, peran proaktif pemerintah dalam mempromosikan moderasi beragama dan literasi digital, serta bimbingan holistik dari orang tua dan pendidik untuk membentuk generasi muda yang spiritual, toleran, dan bertanggung jawab.
Daftar Pustaka
- "Spiritual but not Religious" | The Pluralism Project, diakses Juli 20, 2025, https://pluralism.org/spiritual-but-not-religious
- Spirituality and Religion: How Does the U.S. Compare With Other Countries?, diakses Juli 20, 2025, https://www.pewresearch.org/religion/2025/06/25/spirituality-and-religion-us-comparison-to-other-countries/
- Indonesia among most religious nations: Pew study - Sat, August 1, 2020 - The Jakarta Post, diakses Juli 20, 2025, https://www.thejakartapost.com/paper/2020/07/31/indonesia-among-most-religious-nations-pew-study.html
- Privatisasi Agama di Kalangan Muda Muslim Pada Era Disrupsi ..., diakses Juli 20, 2025, https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/DT/article/view/4029
- Spiritualitas Kaum Muda di Tengah Perkotaan dalam Era Digital: Bahasa Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/368558323_Spiritualitas_Kaum_Muda_di_Tengah_Perkotaan_dalam_Era_Digital_Bahasa_Indonesia
- Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/270492630_Islam_and_the_Changing_Meaning_of_Spiritualitas_and_Spiritual_in_Contemporary_Indonesia
- ISLAM AND THE CHANGING MEANING OF SPIRITUALITAS AND SPIRITUAL IN CONTEMPORARY INDONESIA1, diakses Juli 20, 2025, https://digilib.uin-suka.ac.id/9812/1/AHMAD%20MUTTAQIN%20ISLAM%20AND%20THE%20CHANGING%20MEANING%20OF%20SPIRITUALITAS%20AND%20SPIRITUAL%20IN%20CONTEMPORARY%20INDONESIA.pdf
- 5 facts about Muslims and Christians in Indonesia | Pew Research Center, diakses Juli 20, 2025, https://www.pewresearch.org/short-reads/2024/03/28/5-facts-about-muslims-and-christians-in-indonesia/
- Spiritual but not religious - Wikipedia, diakses Juli 20, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Spiritual_but_not_religious
- Spiritual Not Religious (in Bahasa Indonesia) - rike jokanan, diakses Juli 20, 2025, https://rikejokanan.com/2025/05/17/spiritual-not-religious-in-bahasa-indonesia/
- Spiritual But Not Religious (SBNR)? Bridge the Gap with Millennials-Part Two | Launching Leaders, diakses Juli 20, 2025, https://www.llworldwide.org/blog/spiritual-but-not-religious-sbnr-bridge-the-gap-with-millennials-part-two/
- 7 Macam Nama Generasi dan Tahunnya, serta Perbedaan Karakteristiknya - detikcom, diakses Juli 20, 2025, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7349623/7-macam-nama-generasi-dan-tahunnya-serta-perbedaan-karakteristiknya
- Generasi “Milenial” Dan Generasi “Kolonial” (kemenkeu.go.id) - Website DJKN, diakses Juli 20, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pontianak/baca-artikel/14262/Generasi-Milenial-Dan-Generasi-Kolonial.html
- Ipsos Generations Report 2024 - Indonesia, diakses Juli 20, 2025, https://www.ipsos.com/en-id/ipsos-generations-report-2024-indonesia
- Mengenal 6 Macam Generasi di Indonesia Sesuai Tahun Lahir, Kamu Termasuk yang Mana? - UICI, diakses Juli 20, 2025, https://uici.ac.id/mengenal-6-macam-generasi-di-indonesia-sesuai-tahun-lahir-kamu-termasuk-yang-mana/
- indonesia gen z report 2024 - IDN Times, diakses Juli 20, 2025, https://cdn.idntimes.com/content-documents/indonesia-gen-z-report-2024.pdf
- Preferences of Indonesian Gen-Z and Millennials (Zillennials) towards Sharia Hotels: A Quantitative Study - Atlantis Press, diakses Juli 20, 2025, https://www.atlantis-press.com/article/126008162.pdf
- (PDF) Book Review: Millenial and Generation Z Ideas for Golden Indonesia 2045 (Gagasan Millenial dan Generasi Z Untuk Indonesia Emas 2045) - ResearchGate, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/352328839_Book_Review_Millenial_and_Generation_Z_Ideas_for_Golden_Indonesia_2045_Gagasan_Millenial_dan_Generasi_Z_Untuk_Indonesia_Emas_2045
- SURVEI PERSEPSI DAN SIKAP GENERASI MUDA TERHADAP INTOLERANSI DAN EKSTREMISME 2020 - INFID, diakses Juli 20, 2025, https://infid.org/wp-content/uploads/2023/12/Executive-Summary-Survei-PERSEPSI-DAN-SIKAP-GENERASI-MUDA-1.pdf
- Riset INFID: Mayoritas Orang Muda Indonesia Toleran - Batukarinfo, diakses Juli 20, 2025, https://www.batukarinfo.com/komunitas/articles/riset-infid-mayoritas-orang-muda-indonesia-toleran
- Spiritual di Era Modern: Bagaimana Generasi Muda Menemukan Makna Hidup, diakses Juli 20, 2025, https://www.kompasiana.com/muchamadiqbalarief6170/669ea0bd34777c37c32d7a22/spiritual-di-era-modern-bagaimana-generasi-muda-menemukan-makna-hidup
- Membangun Spiritualitas Digital bagi Generasi Z | Subowo | DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani - STT Intheos Surakarta, diakses Juli 20, 2025, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/464
- (PDF) Spiritualitas Kekristenan Gen Z - ResearchGate, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/388360570_Spiritualitas_Kekristenan_Gen_Z
- SPIRITUALITAS KEKRISTENAN GEN Z: Perubahan Pola Penghayatan Iman Pada Generasi Digital | HUMANITIS: Jurnal Homaniora, Sosial dan Bisnis, diakses Juli 20, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/view/434
- KAJIAN STUDI SPIRITUALITAS GENERASI Z DALAM MENEMUKAN AUTENTISITAS DIRI DI ERA DIGITAL - Universitas Kristen Duta Wacana, diakses Juli 20, 2025, https://repository.ukdw.ac.id/8267/1/50210106_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf
- Gen Z Diingatkan Bahaya Politisasi Agama, Diajak Jadi Agen Moderasi Beragama, diakses Juli 20, 2025, https://kemenag.go.id/nasional/gen-z-diingatkan-bahaya-politisasi-agama-diajak-jadi-agen-moderasi-beragama-5ublwx
- Gen X Jadi Generasi yang Paling Tidak Percaya Pemuka Agama, Gen Z Paling Tinggi - Asumsi.co, diakses Juli 20, 2025, https://asumsi.co/post/98405/gen-x-jadi-generasi-yang-paling-tidak-percaya-terhadap-pemuka-agama-gen-z-paling-tinggi/
- Gen Z's Religiosity Level: A Comparative Study between Indonesia and the United Kingdom, diakses Juli 20, 2025, https://www.researchgate.net/publication/389036930_Gen_Z's_Religiosity_Level_A_Comparative_Study_between_Indonesia_and_the_United_Kingdom