Solid Church, Liquid Church dan Elastic Church
Analisa Dialektika Kekuasaan, Komunitas, dan Refleksi Teologis dalam Kehidupan Bergereja Kontemporer di Indonesia
Elya G. Muskitta
Pendahuluan: Senjakala Gereja Solid
Lanskap kekristenan kontemporer di Indonesia menampilkan sebuah panorama yang kompleks dan penuh tegangan. Di satu sisi, berdiri kokoh institusi-institusi gereja denominasional yang usianya berabad-abad, dengan struktur yang mapan, liturgi yang baku, dan tradisi yang mengakar kuat. Di sisi lain, bermunculan gereja-gereja megah yang dinamis, lincah secara mediatik, serta komunitas-komunitas iman yang tersebar dan cair di ruang digital. Koeksistensi kedua model ini bukan sekadar perbedaan gaya, melainkan menandakan sebuah pergeseran fundamental dalam cara gereja dipahami, dijalankan, dan dihayati.
Untuk membongkar kompleksitas ini, laporan ini mengusulkan sebuah kerangka analisis utama: metafora "Gereja Solid" versus "Gereja Cair" maupun “Gereja Elastis”. Gereja Solid didefinisikan oleh strukturnya yang tetap, otoritas hierarkis, dan batas-batas yang jelas. Sebaliknya, Gereja Cair dicirikan oleh fluiditas, hubungan berbasis jaringan, dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Sementara itu Gereja Elastis didefinisikan sebagai gereja yang mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia: kedalaman teologis dan stabilitas struktural dari Gereja Solid dengan fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, dan dinamisme misioner dari Gereja Cair. Fokus utama analisis ini pada Gereja Solid dan Gereja Cair, kemudian di bagian akhir dari dokumen ini Gereja Elastis dihadirkan sebagai usulan jalan tengah, yang menggabungkan kedua kategori gereja terdahulu.
Analisis ini dibingkai oleh metafora filosofis "Burung Hantu Minerva" dari G.W.F. Hegel.1 Hegel berpendapat bahwa pemahaman sejati atas sebuah era historis hanya mungkin terjadi secara retrospektif, saat era tersebut mendekati senjanya.3 Kemampuan kita untuk mendefinisikan dan menganalisis "Gereja Solid" dengan begitu jelas justru merupakan pertanda bahwa masa dominasinya yang tak tergoyahkan mulai memudar. Burung hantu kebijaksanaan filosofis baru membentangkan sayapnya saat senja tiba, memungkinkan pemahaman komprehensif atas suatu "bentuk kehidupan yang telah menua".2 Implikasinya, pemahaman kita terhadap Gereja Cair yang sedang bangkit ini, secara inheren, bersifat sementara dan terus berkembang.
Tesis utama laporan ini adalah bahwa transisi dari Gereja Solid ke Gereja Cair di Indonesia bukanlah proses penggantian yang sederhana, melainkan sebuah proses dialektis yang kompleks. Transisi ini merepresentasikan pergeseran mendasar dalam logika kekuasaan, dari Solid Power (kekuasaan berbasis kontrol birokratis) menuju Liquid Power (kekuasaan berbasis pengaruh yang sukar dipahami); transformasi dalam struktur komunitas dari hierarki institusional menjadi jaringan terdesentralisasi; serta perubahan dalam moda pengawasan dari Panopticon yang bersifat dari-atas-ke-bawah menjadi Synopticon yang resiprokal. Laporan ini akan menganalisis transisi tersebut melalui lensa teoritis dan studi kasus konkret di Indonesia untuk memahami implikasinya bagi masa depan gereja.
Bagian I: Fondasi Teoretis - Kekuasaan dalam Modernitas Solid dan Cair
Bab 1: Dialektika Soliditas dan Likuiditas Baumanian
Untuk memahami dinamika yang membentuk lanskap gereja saat ini, kerangka kerja sosiolog Zygmunt Bauman mengenai modernitas "solid" dan "cair" menjadi sangat relevan. Pergeseran ini tidak hanya mengubah masyarakat, tetapi juga logika kekuasaan yang beroperasi di dalamnya.
Dari Modernitas Solid ke Modernitas Cair
Menurut Bauman, fase awal modernitas, yang disebutnya "modernitas solid", ditandai oleh stabilitas, prediktabilitas, dan institusi yang langgeng.5 Dalam era ini, individu tertanam dalam peran sosial yang tetap—seperti keluarga, pekerjaan seumur hidup, dan komunitas lokal—yang memberikan rasa aman dan identitas yang jelas.5 Tatanan sosial diupayakan menjadi solid, terstruktur, dan dapat dikelola, layaknya logam berat dalam era industri.
Namun, era ini telah digantikan oleh "modernitas cair" (liquid modernity), sebuah kondisi yang ditandai oleh aliran, ketidakpastian, dan transformasi konstan.5 Ikatan-ikatan permanen telah larut; setiap komitmen bersifat sementara dan harus dapat dilepaskan dengan mudah saat keadaan berubah.6 Bauman menggunakan metafora cairan untuk menggambarkan kondisi ini: cairan, tidak seperti benda padat, tidak dapat mempertahankan bentuknya dan terus-menerus beradaptasi dengan wadahnya. Bagi cairan, yang terpenting bukanlah ruang yang ditempati, melainkan aliran waktu yang terus berubah.7 Era ini didominasi oleh individualisasi, di mana setiap orang dituntut untuk "menciptakan sendiri" identitas mereka, dan konsumerisme menjadi sarana utama untuk ekspresi diri.5
Sifat Kekuasaan Solid dan Cair
Seiring dengan pergeseran kondisi modernitas, sifat kekuasaan pun turut bertransformasi.
- Solid Power (Kekuasaan Solid): Ini adalah model kekuasaan yang beroperasi di era modernitas solid. Kekuasaan ini terikat pada struktur birokrasi dan institusi yang kokoh, seperti negara-bangsa atau pabrik Fordis. Cara kerjanya adalah dengan "mengontrol dan membatasi kemungkinan-kemungkinan" (controlling limiting possibilities).8 Kekuasaan ini bersifat teritorial, membutuhkan kehadiran fisik, dan dijalankan melalui manajemen, pengawasan, paksaan, dan hukuman dalam ruang-ruang yang terdefinisi dengan jelas.7 Tujuannya adalah membangun sebuah tatanan yang dapat diprediksi dan dikelola.
- Liquid Power (Kekuasaan Cair): Ini adalah model kekuasaan yang dominan di era modernitas cair, yang dijalankan oleh elite global baru. Kekuasaan ini tidak lagi terikat pada ruang dan tidak beroperasi melalui paksaan, melainkan melalui kelincahan, kecepatan, dan kemampuannya untuk melepaskan diri dari ikatan (elusiveness).7 Kekuasaan cair mendominasi bukan dengan membatasi, melainkan dengan menciptakan "ketidakpastian dan ketidakamanan" bagi orang lain, seraya memastikan mobilitasnya sendiri.8 Strategi utamanya adalah deregulasi dan penghindaran komitmen jangka panjang yang dapat "menggadaikan masa depan".9 Kekuasaan ini mengalir seperti air, melewati rintangan, melarutkan sebagian, dan merembes melalui yang lain, tanpa terpengaruh oleh pertemuannya dengan struktur-struktur solid.7
Ikatan Dialektis
Penting untuk dipahami bahwa soliditas dan likuiditas bukanlah sebuah dikotomi yang sederhana, melainkan terkunci dalam sebuah "ikatan dialektis".9 Proyek modernitas sejak awal adalah tentang "melelehkan segala yang padat" (melting the solids), yaitu tradisi-tradisi pra-modern.7 Namun, tujuan awalnya bukanlah untuk menghapuskan soliditas selamanya, melainkan untuk menggantikan "benda-benda padat yang cacat" dengan "benda-benda padat yang baru dan lebih baik"—seperti negara-bangsa yang rasional dan birokrasi yang efisien.7
Dalam fase cair, tujuan ini berubah. Idealnya bukan lagi soliditas, melainkan fleksibilitas. Struktur-struktur yang dibangun kini bersifat sementara, "sampai pemberitahuan lebih lanjut", dan harus dirancang agar mudah dibongkar kembali sesuai permintaan.9 Bauman menyatakan bahwa pencarian akan soliditas yang sempurnalah yang secara ironis justru memicu dan menggerakkan proses pelumeran (likuifaksi).9
Penerapan logika ini pada institusi gereja menunjukkan bahwa semakin sebuah "Gereja Solid" berusaha menegakkan kontrol yang kaku, mendefinisikan batas-batas doktrinal yang ketat, dan menciptakan tatanan yang tidak dapat diubah, semakin ia secara tidak sengaja menciptakan kondisi bagi munculnya gerakan-gerakan "cair". Jemaat yang mencari ekspresi iman yang lebih personal, fleksibilitas dalam komunitas, atau relevansi kontekstual yang lebih dinamis akan cenderung "mengalir" menjauh dari struktur yang kaku menuju bentuk-bentuk persekutuan yang lebih adaptif. Upaya untuk membuat benteng menjadi tak tertembus justru membuat dunia di luar benteng tampak lebih menarik dan dinamis. Dengan demikian, kebangkitan Gereja Cair bukanlah semata-mata ancaman eksternal bagi Gereja Solid, melainkan, sebagian, merupakan produk dari logika internal Gereja Solid itu sendiri dan keterbatasannya dalam menghadapi dunia modern yang cair.
Atribut | Gereja Solid | Gereja Cair |
Struktur | Hierarkis (Sinodal/Episkopal), Terpusat, Birokratis | Jaringan (Networked), Terdesentralisasi, Organis |
Otoritas | Posisional, Institusional, Berdasarkan Jabatan (Office) | Karismatik, Relasional, Berdasarkan Pengaruh (Influence) |
Model Kekuasaan | Solid Power (Kontrol melalui pembatasan dan aturan) | Liquid Power (Dominasi melalui ketidakpastian, mobilitas, dan pengaruh) |
Komunitas | Berpusat pada institusi (Institution-centric) | Berpusat pada individu dan relasi (Individual-centric) |
Identitas | Kolektif, Denominasional, Diberikan oleh institusi | Dikonstruksi sendiri, Eksperiensial, Pilihan pribadi |
Gaya Ibadah | Liturgis, Tradisional, Terstruktur, Formal | Kontemporer, Ekspresif, Berbasis pengalaman, Informal |
Tujuan Utama | Menjaga tatanan, melestarikan tradisi, kemurnian doktrin | Pertumbuhan (kuantitas), relevansi, dampak personal |
Risiko Utama | Rigiditas, Irelevansi, Birokratisme | Superficialitas, Konsumerisme spiritual, Krisis akuntabilitas |
Contoh di Indonesia | Gereja-gereja aras PGI (mis. GPIB, GKI), Gereja Katolik | Gereja non-denominasi (mis. JPCC), Gereja Karismatik (mis. GMS), Gerakan Komsel |
Bab 2: Arsitektur Kekuasaan - Dari Panopticon ke Synopticon
Pergeseran dari kekuasaan solid ke cair juga tercermin dalam cara pengawasan dan disiplin dijalankan. Dua model arsitektur kekuasaan yang kontras, Panopticon dari Michel Foucault dan Synopticon dari Thomas Mathiesen, menyediakan lensa untuk memahami mekanisme kontrol dalam Gereja Solid dan Gereja Cair.
Kekuasaan Panoptis Foucault
Dalam analisisnya, Foucault menggunakan desain penjara Panopticon karya Jeremy Bentham sebagai metafora utama untuk kekuasaan disipliner di era modernitas solid.11 Panopticon adalah sebuah bangunan melingkar dengan menara pengawas di tengahnya. Dari menara ini, segelintir penjaga dapat mengawasi banyak narapidana di sel-sel mereka, namun para narapidana tidak pernah tahu kapan tepatnya mereka sedang diawasi.12
"Jebakan visibilitas" (visibility is a trap) ini menciptakan rasa keterlihatan yang permanen dan sadar (conscious and permanent visibility) pada diri narapidana.11 Akibatnya, mereka mulai menginternalisasi tatapan pengawas dan mendisiplinkan diri mereka sendiri secara spontan.13 Kekuasaan menjadi otomatis, efisien, dan tertanam dalam tubuh subjek.14 Bagi Foucault, Panopticon bukan hanya sebuah bangunan, melainkan "diagram kekuasaan yang direduksi ke bentuk idealnya"—sebuah model umum untuk mendefinisikan relasi kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, pabrik, rumah sakit, maupun barak militer.11 Ini adalah mekanisme Solid Power yang sempurna.
Kekuasaan Sinoptis Mathiesen
Sebagai tandingan dari Panopticon, sosiolog Norwegia Thomas Mathiesen memperkenalkan konsep Synopticon.16 Berasal dari kata Yunani synoptes ("melihat bersama"), Synopticon adalah sebuah sistem kontrol resiprokal di mana "yang banyak mengawasi yang sedikit" (the many watch the few).16 Awalnya, Mathiesen mengaitkan konsep ini dengan media massa, terutama televisi, yang memungkinkan masyarakat luas untuk mengamati dan mengawasi para elite politik, selebritas, dan figur publik lainnya.16
Di era internet dan media sosial, konsep ini berkembang menjadi sebuah kondisi di mana "semua orang mengawasi semua orang" (everybody watches everybody else).18 Contoh nyata dari kekuatan sinoptis adalah ketika warga merekam tindakan aparat kepolisian dengan ponsel mereka, yang dapat mendorong aparat untuk lebih berhati-hati dan mendisiplinkan diri.18 Ini adalah pengawasan dari bawah ke atas (surveillance from below).
Interaksi dan "Sinoptisisme Ilusif"
Meskipun Synopticon tampak sebagai kekuatan penyeimbang yang memberdayakan terhadap Panopticon, hubungan keduanya lebih kompleks. Keduanya dapat saling memperkuat dalam apa yang disebut Mathiesen sebagai "The Viewer Society".16 Lebih jauh, beberapa pemikir mengemukakan adanya "sinoptisisme ilusif" (illusory synopticism).19 Perasaan berkuasa dan terkontrol yang dialami oleh pengguna saat berinteraksi di media sosial—misalnya dengan mengkritik seorang politisi—bisa jadi hanya ilusi. Di balik layar, struktur panoptis raksasa tetap beroperasi, di mana platform teknologi mengumpulkan data dan mengawasi setiap gerak-gerik pengguna untuk kepentingan komersial atau lainnya.
Peralihan dari Gereja Solid ke Gereja Cair melibatkan pergeseran dari moda kekuasaan yang primernya Panoptis ke sebuah sistem hibrida di mana elemen-elemen Panoptis tetap ada namun kini berdampingan dengan lapisan Sinoptis yang sangat kuat dan terlihat. Panopticon dapat dipandang sebagai "sistem operasi" dari Gereja Solid. Sinode atau dewan gereja pusat berfungsi sebagai 'menara pengawas', sementara jemaat-jemaat lokal adalah 'sel-sel'-nya. 'Tatapan' pengawasan ini dijalankan melalui mekanisme formal seperti laporan keuangan, audit, pemeriksaan doktrinal, dan ketaatan pada Tata Gereja.20 Hal ini memastikan keseragaman dan kepatuhan.
Sebaliknya, Synopticon adalah "sistem operasi" dari Gereja Cair. Para pemimpin gereja megah (megachurch) terus-menerus 'diawasi' oleh jemaat yang jumlahnya masif melalui siaran langsung khotbah, unggahan media sosial, dan podcast.22 Para jemaat juga saling mengawasi satu sama lain dalam forum-forum online dan kelompok-kelompok sel. Ini menciptakan jenis disiplin yang berbeda—disiplin yang didasarkan pada manajemen persepsi publik, pemeliharaan relevansi, dan akuntabilitas antar-sesama. Namun, kritik "sinoptisisme ilusif" juga berlaku di sini.19 Apakah kemampuan seorang jemaat untuk memberi 'like' atau 'komentar' pada unggahan seorang pendeta benar-benar menandakan pergeseran kekuasaan, ataukah itu hanya memperkuat status selebritas sang pendeta dalam sebuah sistem yang tetap memusatkan pengaruh padanya?
Model Pengawasan | Deskripsi | Aplikasi dalam Gereja Solid | Aplikasi dalam Gereja Cair |
Panopticon (Foucault) | Yang sedikit mengawasi yang banyak. Kekuasaan dari atas ke bawah, terinternalisasi, menciptakan disiplin. | Sinode sebagai Menara Pengawas: Pengawasan melalui Tata Gereja, laporan keuangan, visitasi, dan penempatan pendeta. Jemaat lokal dan pendeta mendisiplinkan diri agar sesuai dengan aturan sinodal. | Struktur Internal: Meskipun cair, gereja besar tetap memiliki struktur internal (HR, keuangan) yang beroperasi secara panoptis untuk mengelola staf dan sumber daya. |
Synopticon (Mathiesen) | Yang banyak mengawasi yang sedikit (dan semua orang mengawasi semua orang). Kekuasaan resiprokal, berbasis media. | Transparansi Terbatas: Laporan keuangan yang diumumkan dalam warta jemaat adalah bentuk sinoptisisme terbatas. Jemaat dapat "mengawasi" pengelolaan dana. | Kekuasaan Sinoptis Penuh: Pendeta dan pemimpin terus-menerus diawasi publik melalui media sosial. Jemaat saling mengawasi dalam Komsel dan grup online. Disiplin didasarkan pada reputasi dan akuntabilitas relasional. |
Bagian II: Manifestasi Gereja Solid di Indonesia
Gereja Solid di Indonesia termanifestasi paling jelas dalam bentuk denominasi-denominasi mapan dengan struktur hierarkis dan badan-badan aras nasional yang berfungsi sebagai payung organisasi. Struktur ini dirancang untuk menciptakan ketertiban, kesatuan, dan keberlanjutan, yang merupakan ciri khas dari Solid Power.
Bab 3: Institusi sebagai Benteng - Badan Aras Nasional dan Denominasi Mapan
Dalam lanskap kekristenan Indonesia yang beragam, institusi-institusi gerejawi yang solid memainkan peran krusial sebagai benteng stabilitas. Mereka berfungsi untuk menjaga identitas, memediasi hubungan dengan negara, dan mempertahankan tatanan di tengah arus perubahan sosial yang deras.
Peran Badan Aras Nasional
Badan-badan aras nasional seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), dan Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) adalah perwujudan dari Solid Power dalam skala makro.23 Fungsi utama mereka adalah:
- Menciptakan Keteraturan: Mereka menyediakan wadah formal bagi ratusan sinode gereja, memungkinkan koordinasi dan komunikasi yang terstruktur.24
- Representasi Kolektif: Mereka bertindak sebagai suara kolektif umat Kristen dalam dialog dengan pemerintah dan kelompok agama lain, misalnya melalui keanggotaan dalam Majelis-majelis Agama di Indonesia (MAI).24
- Menetapkan Batasan dan Kesatuan: PGI, misalnya, memiliki Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang mengikat gereja-gereja anggotanya dalam sebuah kesepakatan bersama, termasuk piagam saling mengakui dan menerima.24 Ini adalah upaya untuk "memadatkan" keragaman menjadi sebuah kesatuan yang solid.
Struktur yang sangat terorganisir dari badan-badan ini dan denominasi-denominasi mapan dapat dilihat sebagai mekanisme pertahanan terhadap kekuatan individualisasi dan fragmentasi dari modernitas cair. Penekanan pada sejarah 26, aturan formal 27, dan identitas kolektif ("kesatuan dan keesaan") 24 memberikan rasa stabilitas dan keakaran di dunia di mana hal-hal tersebut semakin terkikis. Namun, soliditas ini juga bisa menjadi sumber ketegangan. Struktur yang kaku dapat menyulitkan adaptasi terhadap realitas sosial baru atau kebutuhan spiritual generasi muda yang lebih terbiasa dengan lingkungan yang cair. Beban sejarah, seperti asosiasi beberapa gereja tua dengan era kolonial yang memunculkan kecurigaan bahwa mereka adalah "kaki tangan Belanda" 26, menunjukkan bagaimana identitas yang solid juga dapat menjadi sebuah beban. Dengan demikian, Gereja Solid di Indonesia, yang dicontohkan oleh institusi seperti GPIB, memanfaatkan kekuatan kelembagaan dan kesinambungan historisnya untuk memberikan stabilitas, tetapi struktur yang kaku dan dinamika kekuasaan dari atas ke bawah membuatnya rentan dianggap usang atau tidak responsif dalam masyarakat modern yang cair.
Studi Kasus: Tata Kelola dan Struktur Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
GPIB adalah contoh arketipal dari Gereja Solid di Indonesia. Tata kelolanya yang diatur secara rinci dalam Tata Gereja menunjukkan sebuah sistem kekuasaan yang terstruktur, hierarkis, dan terpusat.
- Tata Gereja sebagai Cetak Biru Solid: Tata kelola GPIB dikodifikasikan dalam dokumen komprehensif yang disebut Tata Gereja.20 Dokumen ini dianggap sebagai "otak" organisasi, yang berisi semua aturan dan prosedur untuk setiap kegiatan, memastikan stabilitas dan prediktabilitas.20 Ini adalah cetak biru yang solid untuk menjaga tatanan gereja.
- Sistem Presbiterial-Sinodal: Sistem ini pada dasarnya bersifat hierarkis. Kepemimpinan tertinggi berada di tangan Majelis Sinode, yang keputusannya mengikat bagi Majelis Jemaat di tingkat lokal.21 Alur pengambilan keputusan mengalir dari atas (Persidangan Sinode) ke bawah (jemaat-jemaat).29 Persidangan Sinode, yang diadakan secara berkala (tahunan atau lima tahunan), adalah lembaga pengambilan keputusan tertinggi yang menetapkan kebijakan umum, tata gereja, dan memilih fungsionaris Majelis Sinode.21
- Kontrol Terpusat atas Sumber Daya dan Personel: Majelis Sinode memiliki otoritas atas aset, keuangan (dengan sistem "sentralisasi terbatas"), dan penempatan pendeta di seluruh jemaat.20 Sentralisasi ini adalah ciri khas Solid Power, yang memastikan bahwa sumber daya dan personel dikelola sesuai dengan rencana terpadu dari pusat, bukan berdasarkan inisiatif jemaat lokal semata.
Bab 4: Kekuasaan Panoptis dalam Gereja Solid
Struktur hierarkis GPIB dan denominasi mapan lainnya dapat dianalisis secara efektif melalui lensa Panopticon Foucault. Majelis Sinode berfungsi sebagai "menara pengawas" pusat, dan "tatapan"-nya dijalankan melalui berbagai mekanisme yang memastikan kepatuhan dan keseragaman di seluruh "sel" jemaat.
Sinode sebagai Menara Pengawas Pusat
Mekanisme panoptis dalam struktur GPIB meliputi:
- Keseragaman Doktrinal dan Liturgis: Majelis Sinode menetapkan Pemahaman Iman dan Tata Ibadah yang berlaku untuk semua jemaat. Hal ini memastikan bahwa ajaran dan praktik peribadatan tetap seragam dan sesuai dengan garis teologis yang telah ditetapkan, mencegah penyimpangan di tingkat lokal.21
- Pengawasan Keuangan: Kewajiban bagi setiap jemaat untuk menyerahkan laporan keuangan secara berkala kepada Majelis Sinode, serta keberadaan badan pemeriksa perbendaharaan (BPPG di tingkat sinodal dan BPPJ di tingkat jemaat), menciptakan sebuah sistem panoptisisme finansial. Setiap transaksi dan pengelolaan aset berada di bawah pengawasan pusat.20
- Disiplin Klerikal: Otoritas Majelis Sinode untuk mengangkat, memindahkan, dan menjatuhkan sanksi disipliner kepada para pendeta adalah bentuk kontrol yang paling kuat.21 Ini memastikan bahwa para pelayan jemaat tetap patuh pada aturan dan teologi gereja. Jika seorang pendeta menyimpang, Sinode memiliki kuasa untuk menindaknya.
Internalisasi Tatapan Pengawas
Akibat dari sistem ini, para pemimpin jemaat lokal (Pelaksana Harian Majelis Jemaat atau PHMJ) dan pendeta menginternalisasi aturan-aturan ini. Mereka secara sadar mengatur ajaran, tata kelola, dan praktik keuangan mereka agar selaras dengan Tata Gereja, karena mereka tahu bahwa mereka bertanggung jawab dan akan diawasi oleh Sinode. Ini adalah perwujudan dari tesis Foucault di mana kekuasaan tidak lagi memerlukan paksaan fisik terus-menerus; ia bekerja secara otomatis karena subjek telah menjadi "prinsip dari penaklukannya sendiri".13 Sistem ini secara efisien memastikan "pengaturan massa manusia" dan meningkatkan "kepatuhan dan kegunaan" dari seluruh elemen sistem, persis seperti yang digambarkan Foucault.11
Kekuasaan panoptis di dalam Gereja Solid ini memiliki fungsi ganda yang paradoksal. Di satu sisi, ia berfungsi positif untuk memastikan akuntabilitas, mencegah penyimpangan ajaran (dari perspektif institusi), dan melindungi dari penyalahgunaan keuangan. Ini adalah tujuan-tujuan yang mulia dan penting untuk kesehatan sebuah organisasi. Di sisi lain, mekanisme kontrol yang sama dapat mematikan inovasi lokal, menekan ekspresi teologis yang kontekstual, dan menciptakan budaya kepatuhan (compliance) daripada misi yang kreatif. Kekuasaan ini, seperti kata Foucault, bersifat produktif—ia memproduksi realitas dan ritus kebenaran.15 Dalam hal ini, ia memproduksi tipe subjek Kristen yang "tertib" dan seragam. Namun, hal ini mungkin dicapai dengan mengorbankan dinamisme dan kemampuan beradaptasi yang sangat dibutuhkan untuk berkembang di dunia yang cair. Dengan demikian, kekuasaan panoptis dalam Gereja Solid adalah pedang bermata dua: ia memberikan stabilitas dan akuntabilitas, tetapi juga berisiko menyebabkan kekakuan institusional dan menekan vitalitas yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman.
Bagian III: Kebangkitan Gereja Cair di Indonesia
Seiring dengan semakin meresapnya modernitas cair ke dalam tatanan sosial, muncullah model-model gereja baru yang secara fundamental berbeda dari institusi solid yang telah mapan. Gereja-gereja ini, yang dapat dikategorikan sebagai "Gereja Cair", dicirikan oleh struktur yang fleksibel, fokus pada pengalaman personal, dan penguasaan media digital. Mereka tidak lagi terikat pada tradisi denominasional yang kaku, melainkan mengalir mengikuti arus budaya kontemporer.
Bab 5: Jaringan dan Aliran - Gereja Non-Denominasi dan Karismatik
Gereja-gereja non-denominasi dan karismatik adalah representasi paling menonjol dari fenomena Gereja Cair di Indonesia. Mereka menolak untuk terikat pada label-label denominasi tradisional dan lebih memilih untuk mendefinisikan diri mereka melalui pengalaman ibadah yang dinamis dan komunitas yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Karakteristik Gereja Cair
Ciri-ciri utama dari gereja-gereja ini meliputi:
- Ibadah Kontemporer: Ibadah mereka sering kali menyerupai konser musik, dengan band lengkap, tata cahaya canggih, dan musik yang keras dan penuh semangat. Ini menciptakan pengalaman yang imersif dan emosional.31
- Fokus pada Generasi Muda: Mereka sangat berhasil menarik kalangan muda dengan menggunakan bahasa, musik, dan media yang sesuai dengan budaya populer.31
- Struktur yang Fleksibel: Struktur organisasi mereka lebih cair, sering kali berpusat pada figur seorang pendeta senior yang karismatik dan didukung oleh jaringan kampus-kampus satelit dan kelompok-kelompok kecil.32
Kekuasaan dalam gereja-gereja ini tidak lagi terletak pada institusi yang solid, melainkan pada pengaruh (influence) yang cair dari pemimpin karismatiknya. Pengaruh ini tidak terbatas pada gedung gereja; ia mengalir bebas melalui media digital, musik, buku, dan konferensi. Otoritas seorang pemimpin tidak dipertahankan melalui buku peraturan formal, tetapi melalui kemampuannya untuk tetap relevan, membangun merek pribadi yang kuat, dan terhubung secara emosional dengan audiens massa. Ini sangat selaras dengan konsep Bauman tentang elite baru yang mendominasi melalui mobilitas dan pengaruh, bukan melalui kontrol statis. Oleh karena itu, Gereja Cair di Indonesia berkembang pesat dengan menjalankan Liquid Power, di mana pengaruh dilepaskan dari lokasi fisik dan otoritas disematkan pada figur-figur karismatik serta kemampuan mereka untuk menavigasi aliran budaya kontemporer.
Studi Kasus: Pertumbuhan dan Struktur Gereja Mawar Sharon (GMS)
Perjalanan GMS adalah sebuah narasi klasik tentang bagaimana sebuah aliran cair dapat tumbuh dan akhirnya memadat menjadi struktur baru.
- Dari Persekutuan Doa menjadi Sinode: GMS berawal dari sebuah persekutuan doa kecil pada tahun 1984, yang kemudian berkembang pesat dan akhirnya memisahkan diri dari naungan GBI untuk membentuk sinode sendiri pada tahun 2001.33 Trajektori ini sendiri bersifat "cair"—sebuah aliran energi spiritual yang akhirnya menemukan wadah institusionalnya sendiri.
- Visi Gereja Sel yang Apostolik dan Profetik: Visi inti GMS adalah menjadi "Gereja Sel yang Apostolik dan Profetik".33 Model ini menekankan multiplikasi dan ekspansi yang cepat melalui jaringan kelompok sel (Connect Group) dan gereja-gereja satelit di berbagai kota dan bahkan negara.34
- Pelayanan Tertarget dan Pencitraan Merek: GMS menggunakan pelayanan yang ditargetkan secara spesifik (misalnya untuk wanita, pengusaha, pemuda) dan pencitraan merek yang kuat (melalui logo, arsitektur gereja yang ikonik, dan produksi media berkualitas tinggi) untuk menarik demografi tertentu.34 Ini adalah strategi yang sangat umum dalam budaya konsumerisme di era modernitas cair, di mana individu memilih produk (termasuk produk spiritual) yang paling sesuai dengan identitas dan gaya hidup mereka.5
Studi Kasus: Komunitas dan Tata Kelola Jakarta Praise Community Church (JPCC)
JPCC menunjukkan model Gereja Cair yang berfokus pada relevansi, komunitas, dan pengaruh global.
- Struktur dan Kepemimpinan: Meskipun secara formal berada di bawah Sinode Jemaat Kristen Indonesia (JKI) yang berakar pada tradisi Menonit 37, JPCC beroperasi dengan citra sebagai entitas non-denominasi. Kepemimpinannya jelas, dengan pendeta senior dan pendeta-pendeta asosiasi, namun identitas publiknya dibangun di sekitar ide komunitas, relevansi, dan dampak global.32
- Penekanan pada Kelompok Kecil (DATE): Mekanisme utama bagi seseorang untuk "tertanam" di dalam gereja bukanlah melalui keanggotaan formal, melainkan dengan bergabung dalam kelompok kecil yang disebut DATE (Discipleship, Accountability, Transformation, Empowerment).22 Ini menyoroti pergeseran dari keanggotaan institusional ke koneksi relasional.
- Kehadiran Digital yang Kuat dan Pengaruh Global: JPCC memanfaatkan kehadiran online yang masif—melalui kanal YouTube, podcast, aplikasi, dan media sosial—serta merek-merek terkait seperti JPCC Worship dan Relevant Leadership Academy (RLA) untuk memperluas pengaruhnya jauh melampaui kampus-kampus fisiknya.22 Ini adalah strategi kunci dari Liquid Power, di mana pengaruh tidak lagi dibatasi oleh geografi.
Bab 6: Sel sebagai Unit Cair - Dinamika Komsel
Jika ibadah raya di gereja megah adalah "pertunjukan" utamanya, maka kelompok sel (Komsel, Connect Group, dll.) adalah jaringan "kapiler"-nya, tempat di mana pengaruh dan kekuasaan benar-benar bersirkulasi.8 Kelompok sel adalah fenomena kunci di banyak gereja karismatik dan Pentakosta yang bertumbuh pesat di Indonesia, seperti GBI dan GMS.39
Fenomena Kelompok Sel
Komsel adalah kelompok kecil informal yang bertemu setiap minggu di rumah-rumah, kafe, atau kantor untuk bersekutu, berdoa, dan mendalami Alkitab.39 Ia merupakan struktur yang cair: dapat terbentuk di mana saja, kepemimpinannya sering kali dipegang oleh jemaat awam dan bersifat rotasional, dan tujuan utamanya adalah untuk mengalir dan berlipat ganda. Struktur jaringan terdesentralisasi ini sangat cocok dengan modernitas cair, karena menawarkan keintiman dan komunitas tanpa kekakuan sebuah institusi tradisional. Ia menciptakan bentuk pengawasan antar-sesama (sebuah micro-Synopticon) di mana anggota saling meminta pertanggungjawaban 43, sebuah bentuk kontrol yang jauh lebih cair daripada Panopticon dari atas ke bawah yang ada di Gereja Solid.
Fungsi Kelompok Sel
Fungsi utama Komsel adalah multifaset:
- Pemuridan dan Akuntabilitas: Komsel adalah wahana utama untuk pemuridan, pertumbuhan rohani, dan akuntabilitas antar-sesama (peer accountability).43 Ia menyediakan ruang untuk berbagi pengalaman pribadi dan saling mendukung, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam ibadah raya yang dihadiri ribuan orang.
- Penginjilan dan Multiplikasi: Tujuan inti dari kelompok sel adalah menjadi "ujung tombak" penginjilan dan membawa anggota baru, dengan sasaran akhir untuk membelah diri dan melahirkan sel-sel baru.46 Ini menjadikan gereja sebagai organisme yang hidup dan terus berkembang, bukan sekadar organisasi statis.
- Pelayanan Pastoral: Dalam konteks gereja megah, sistem kelompok sel memungkinkan pelayanan pastoral yang efektif. Ia menciptakan rasa kekeluargaan dan mencegah jemaat merasa "terasing" atau anonim di tengah keramaian.40
Dapat disimpulkan bahwa Komsel adalah bentuk organisasi klasik dari Gereja Cair. Ia memungkinkan pertumbuhan masif dengan cara mendesentralisasikan pelayanan pastoral dan penginjilan ke dalam sebuah jaringan komunitas kecil yang cair, adaptif, dan mudah direplikasi.
Bab 7: Gereja di Ruang Digital - Puncak Likuiditas
Jika ada manifestasi tertinggi dari "melelehnya segala yang padat", itu adalah fenomena gereja digital. Pandemi COVID-19 tidak menciptakan fenomena ini, tetapi ia bertindak sebagai katalisator yang memaksa percepatan masif ke model-model gereja online dan hibrida.48
Model-model Gereja Digital di Indonesia
Penelitian mengidentifikasi empat model utama yang muncul sebagai respons terhadap era digital di Indonesia 48:
Model | Deskripsi | Karakteristik Utama | Teknologi yang Digunakan | Relevansi di Indonesia |
Gereja Analog | Gereja konvensional yang menolak atau meminimalkan penggunaan teknologi digital dalam ibadah utamanya. | Ibadah, persekutuan, dan otoritas sangat terikat pada kehadiran fisik dan interaksi tatap muka. | Ruang fisik, buku nyanyian, instrumen akustik. | Masih tinggi di daerah pedesaan atau di antara denominasi yang sangat tradisional. |
Gereja Digilog / Phygital | Model hibrida yang menggabungkan ibadah di tempat (onsite) dengan siaran langsung (online). | Fleksibel, menjangkau jemaat yang tidak dapat hadir secara fisik. Menjadi model dominan pasca-pandemi. | Kamera, platform streaming (YouTube, Zoom), media sosial, selain ruang fisik. | Sangat dominan di gereja-gereja perkotaan dan denominasi besar. |
Gereja Elektronik (E-Church) | Seluruh pelayanan, ritus, dan komunitasnya berlangsung sepenuhnya secara online. | Tidak terikat lokasi fisik, dapat diakses kapan saja (on-demand), berfokus pada konten digital. | Situs web, aplikasi khusus, platform streaming, media sosial. | Masih bersifat niche tetapi terus bertumbuh, terutama di kalangan diaspora atau komunitas minat khusus. |
Gereja Realitas Virtual (VR) | Komunitas gereja yang bertemu dan berinteraksi dalam dunia metaverse menggunakan avatar. | Pengalaman yang sepenuhnya imersif dan terpisah dari dunia fisik. Identitas bisa bersifat anonim atau rekaan. | Perangkat VR, platform metaverse (misalnya VRChat). | Masih sangat eksperimental dan belum umum karena kendala biaya dan infrastruktur teknologi. |
Media Sosial sebagai "Ruang Sakral" Baru
Di era digital, media sosial telah bertransformasi dari sekadar alat komunikasi menjadi "ruang sakral" (sacred space) yang baru.51 Ia menjadi arena utama untuk ekspresi iman, pembentukan komunitas, pelayanan pastoral, penginjilan, dan bahkan perdebatan teologis.53 Khotbah diunggah, doa dipanjatkan melalui kolom komentar, dan kesaksian dibagikan melalui stories.
Bangkitnya Kekuasaan Sinoptis
Di ranah digital inilah dinamika pengawasan bergeser secara dramatis ke model Synopticon. Jemaat kini dapat mengamati, mengkritik, dan mengawasi para pemimpin mereka secara real-time. Khotbah, pernyataan teologis, bahkan gaya hidup para pendeta menjadi subjek pengawasan publik yang intens.55 Perdebatan teologis yang sengit meletus di platform seperti Facebook atau X (Twitter), menciptakan sebuah "masyarakat penonton" (viewer society) di mana setiap orang adalah pengamat sekaligus yang diamati.16 Hal ini memberikan tekanan besar pada para pemimpin untuk selalu tampil sempurna, relevan, dan mampu mengelola citra publik mereka dengan hati-hati.
Digitalisasi adalah pelumeran tertinggi dari segala yang padat. Ia melarutkan soliditas tempat (gedung gereja), waktu (ibadah on-demand), dan bahkan tubuh fisik (avatar di dunia VR). Otoritas menjadi lebih tersebar dan dapat diperdebatkan. Komunitas menjadi jaringan afiliasi berbasis pilihan, bukan lagi kedekatan geografis. Ini adalah gereja dalam bentuknya yang paling cair. Namun, ini juga membawa serta risiko-risiko klasik dari modernitas cair: potensi keterlibatan yang dangkal ("pendangkalan spiritualitas") 50, konsumerisasi iman (memilih gereja seperti memilih layanan streaming), dan "sinoptisisme ilusif", di mana partisipasi melalui 'like' dan 'share' menutupi kurangnya komitmen atau kekuasaan yang sesungguhnya. Gereja digital, dengan demikian, adalah ekspresi paling kuat dari paradigma Gereja Cair, yang menawarkan jangkauan dan fleksibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi juga mengajukan tantangan mendalam terhadap gagasan tradisional tentang komunitas, otoritas, dan kedalaman spiritual.
Bagian IV: Sintesis dan Refleksi - Burung Hantu Minerva Menyimpulkan
Setelah memetakan manifestasi Gereja Solid dan Gereja Cair di Indonesia, analisis akhir harus mensintesis dinamika di antara keduanya. Lanskap gerejawi saat ini bukanlah medan pertempuran di mana yang satu akan menggantikan yang lain, melainkan sebuah ekosistem hibrida yang kompleks di mana kedua model saling berinteraksi, berbenturan, dan bahkan menyatu. Refleksi ini, sekali lagi dibingkai oleh kebijaksanaan retrospektif sang Burung Hantu Minerva, memungkinkan kita untuk memahami kontur dari sebuah era transformasi yang sedang berlangsung.
Bab 8: Dialektika Solid dan Cair dalam Praktik
Interaksi antara model Gereja Solid dan Gereja Cair di Indonesia menghasilkan serangkaian tegangan dan sinergi yang membentuk kehidupan bergereja saat ini.
Tegangan dan Kontradiksi
- Perdebatan Teologis dan Polarisasi: Sifat cair dari media sosial menjadi bahan bakar bagi perdebatan teologis publik yang sering kali sengit. Isu-isu seperti teologi kemakmuran, peran perempuan dalam pelayanan, atau penafsiran Alkitab menjadi viral dan menciptakan konflik terbuka antara kelompok tradisionalis dan progresif, atau antar denominasi yang berbeda.55 Ruang publik yang tak termoderasi ini memperuncing perbedaan yang sebelumnya mungkin hanya didiskusikan di ruang-ruang seminar yang terbatas.
- Krisis Akuntabilitas: Struktur cair, terutama yang berpusat pada satu pemimpin karismatik, menghadapi tantangan signifikan dalam hal akuntabilitas keuangan dan kepemimpinan.58 Tanpa mekanisme pengawasan panoptis yang mapan seperti dalam struktur solid, penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan menjadi risiko yang nyata. Skandal yang menimpa beberapa pemimpin gereja karismatik sering kali berakar pada kurangnya sistem check and balance yang transparan.59
- Kedalaman Spiritual vs. Relevansi: Dorongan untuk terus relevan dalam Gereja Cair dapat menimbulkan tuduhan "pendangkalan spiritualitas" (pendangkalan spiritualitas), di mana pesan Injil disederhanakan atau disesuaikan agar lebih mudah diterima oleh budaya populer.50 Sebaliknya, fokus Gereja Solid pada kedalaman doktrinal dan tradisi yang tak berubah dapat membuatnya dianggap kaku dan tidak relevan oleh generasi baru.61
Sinergi dan Hibridisasi
Batas antara kedua model ini semakin kabur karena adanya saling adopsi dan adaptasi.
- Gereja Solid Menjadi Cair: Denominasi-denominasi mapan seperti GPIB dan GMIT kini semakin aktif menggunakan media sosial, layanan streaming, dan aplikasi digital untuk misi, komunikasi, dan pelayanan pastoral.53 Mereka mengadopsi alat-alat cair untuk memperluas jangkauan benteng solid mereka.
- Gereja Cair Memadat: Seiring pertumbuhannya, gereja-gereja karismatik yang awalnya sangat cair, seperti GMS, akhirnya merasa perlu untuk "memadat". Mereka mendirikan sinode sendiri, menyusun anggaran dasar, membangun gedung-gedung megah, dan menciptakan struktur administrasi yang rumit untuk mengelola pertumbuhan mereka.33 Mereka menciptakan "benda-benda padat baru" untuk menampung aliran energi mereka.
Lanskap gereja di Indonesia saat ini paling akurat digambarkan bukan sebagai biner Solid vs. Cair, melainkan sebagai ekosistem hibrida yang dinamis. Seorang Kristen di kota besar mungkin pada hari Minggu menghadiri ibadah di sebuah Gereja Solid yang tradisional, lalu selama seminggu berpartisipasi dalam Komsel bergaya cair, dan setiap hari mengonsumsi konten teologis dari pemimpin Gereja Cair global melalui YouTube. Hibriditas ini mencerminkan realitas modernitas cair, di mana individu tidak lagi menjadi milik satu institusi yang mencakup segalanya, melainkan merakit identitas mereka dari berbagai sumber. Dengan demikian, gambaran yang paling tepat adalah sebuah ekosistem di mana elemen-elemen solid dan cair berada dalam tegangan yang konstan, kreatif, dan terkadang destruktif.
Bab 9: Rekomendasi dan Arah Masa Depan - Menuju "Gereja Elastis"
Memahami dialektika ini memungkinkan kita untuk mengajukan sebuah model normatif untuk masa depan. Alih-alih terjebak dalam pilihan biner antara soliditas yang kaku dan likuiditas yang dangkal, gereja di Indonesia dapat bergerak menuju apa yang disebut sebagai "Gereja Elastis".
Memperkenalkan "Gereja Elastis"
Mengambil inspirasi dari penelitian tentang Gereja Elastis 48, model ini diusulkan sebagai jalan ke depan yang adaptif. Gereja Elastis adalah gereja yang mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia: kedalaman teologis dan stabilitas struktural dari Gereja Solid dengan fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, dan dinamisme misioner dari Gereja Cair. Kata "elastis" menyiratkan kemampuan untuk pulih dari tekanan, meregang untuk menjangkau konteks baru tanpa putus, dan menerima ide-ide baru tanpa kehilangan bentuk intinya.
Karakteristik Gereja Elastis
Sebuah Gereja Elastis dapat didefinisikan melalui tiga karakteristik utama 48:
- Komunitas Jejaring-Partisipatif: Mendorong persekutuan yang otentik dan partisipasi aktif yang melampaui peran-peran institusional formal. Ia melihat gereja sebagai jaringan relasi yang hidup, bukan sekadar organisasi.
- Komunitas Resilien-Adaptif: Memiliki daya tahan untuk menghadapi krisis dan kemampuan untuk mengadaptasi metode pelayanannya tanpa kehilangan identitas inti dan panggilan misionalnya.
- Komunitas Misioner-Inspiratif: Berfokus ke luar pada misi Allah di dunia dan menginspirasi jemaatnya melalui kehidupan yang otentik dan relevan, bukan hanya melalui program-program yang menarik.
Rekomendasi untuk Para Pemimpin Gereja
Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi strategis dapat dirumuskan:
- Untuk Gereja-Gereja Solid:
- Merangkul Transparansi Sinoptis: Bergerak melampaui kontrol Panoptis dengan menciptakan lebih banyak saluran untuk umpan balik dari bawah ke atas. Ini termasuk transparansi yang lebih besar dalam tata kelola, terutama dalam pengambilan keputusan dan keuangan, untuk membangun kepercayaan.
- Memberdayakan Agensi Lokal: Memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi jemaat-jemaat lokal untuk mengkontekstualisasikan ibadah dan pelayanan mereka. Ini berarti beralih dari cetak biru yang kaku ke kerangka kerja yang fleksibel yang mendorong inovasi lokal.
- Untuk Gereja-Gereja Cair:
- Membangun Fondasi yang Solid: Mengembangkan sistem akuntabilitas (keuangan dan kepemimpinan) yang kokoh dan tidak bergantung pada satu figur karismatik.59 Ini melibatkan penciptaan struktur "tata kelola yang baik" (
good governance) yang transparan dan partisipatif. - Memperdalam Pemuridan: Bergerak melampaui model pelayanan yang berbasis acara dan atraksi (event-driven, attractional model) untuk menciptakan jalur yang jelas bagi pembentukan spiritual jangka panjang yang mendalam. Ini adalah penangkal risiko konsumerisme dan superficialitas spiritual.
Refleksi Penutup: Penerbangan Sang Burung Hantu Berlanjut
Laporan ini ditutup dengan kembali ke metafora Hegel. Analisis ini adalah sebuah "lukisan kelabu di atas kelabu"—sebuah upaya untuk memahami pergeseran historis saat ia sedang terjadi.2 Masa depan belum tertulis. Dialektika yang terus berlangsung antara kebutuhan akan struktur yang solid dan aliran modernitas cair yang tak terhindarkan akan terus membentuk gereja di Indonesia. Tantangan bagi para pemimpin dan jemaatnya adalah untuk menavigasi transisi ini dengan bijaksana, membangun sebuah gereja yang berakar kuat dalam iman namun tetap relevan dengan dunia—sebuah "Gereja Elastis" yang sejati. Penerbangan sang Burung Hantu Minerva akan terus berlanjut seiring senja zaman ini perlahan berubah menjadi fajar zaman yang baru.
Daftar Pustaka
- Philosophy 101: The Owl of Minerva | Expat Journal: Postcards from the Edge, diakses Juli 18, 2025, https://dennstedt.wordpress.com/2017/10/19/philosophy-101-the-owl-of-minerva/
- Owl of Minerva - Oxford Reference, diakses Juli 18, 2025, https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803100258860
- Hegel wrote: "The owl of Minerva spreads its wings only with the falling of the dusk." What did he mean? What is the owl of Minerva? And what might David Brooks be trying to convey when he writes in a recent column: "But that's the perpetual tragedy of life - Questions | AskPhilosophers.org, diakses Juli 18, 2025, https://www.askphilosophers.org/question/1579
- Hegel and the Owl of Minerva – Discourses on Minerva, diakses Juli 18, 2025, https://minervawisdom.com/2022/12/23/hegel-and-the-owl-of-minerva/
- Understanding the Concept of Liquid Modernity in Sociology, diakses Juli 18, 2025, https://easysociology.com/general-sociology/understanding-the-concept-of-liquid-modernity-in-sociology/
- The Theorist of Liquid Realms: Zygmunt Bauman, 1925-2017 - Social Science Space, diakses Juli 18, 2025, https://www.socialsciencespace.com/2017/01/theorist-liquid-realms-zygmunt-bauman-1925-2017/
- Liquid Modernity, diakses Juli 18, 2025, https://giuseppecapograssi.files.wordpress.com/2014/01/bauman-liquid-modernity.pdf
- (PDF) Liquid modernity and power: A dialogue with Zygmunt ..., diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/232820176_Liquid_modernity_and_power_A_dialogue_with_Zygmunt_Bauman_1
- Interview with Zygmunt Bauman — Theory, Culture & Society | Global Public Life, diakses Juli 18, 2025, https://www.theoryculturesociety.org/blog/interview-with-zygmunt-bauman
- Zygmunt Bauman on Liquidity vs. Solidity – Open Thinkering - Dr Doug Belshaw, diakses Juli 18, 2025, https://dougbelshaw.com/blog/2011/11/05/zygmunt-bauman-on-liquidity-vs-solidity/
- Discipline and Punish Panopticism Summary & Analysis | SparkNotes, diakses Juli 18, 2025, https://www.sparknotes.com/philosophy/disciplinepunish/section7/
- Panopticon - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Panopticon
- Michel Foucault on the Panopticon Effect - Farnam Street, diakses Juli 18, 2025, https://fs.blog/the-panopticon-effect/
- Introduction to Michel Foucault, Module on Panoptic and Carceral Culture, diakses Juli 18, 2025, https://www.purdue.edu/guidetotheory/newhistoricism/modules/foucaultcarceral.html
- Foucault-Panopticism.pdf, diakses Juli 18, 2025, https://depts.washington.edu/lsearlec/510/Texts/Foucault-Panopticism.pdf
- Revisiting the synopticon: Reconsidering Mathiesen's 'The Viewer Society' in the age of Web 2.0 - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/258192069_Revisiting_the_synopticon_Reconsidering_Mathiesen's_'The_Viewer_Society'_in_the_age_of_Web_20
- Thomas Mathiesen - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Mathiesen
- Synoptic Surveillance and Crime Control – ReviseSociology, diakses Juli 18, 2025, https://revisesociology.com/2016/10/01/synoptic-surveillance-and-crime-control/
- The Lawless Land of Social Media: A Proposal of Synopticism as a Product of Panopticism Emma East - Alpha Chi Honor Society, diakses Juli 18, 2025, https://alphachihonor.org/headquarters/files/Website%20Files/Aletheia/Volume_6_2/East_EAX0293.pdf
- Manajemen Aset GPIB (Tata Kelola Aset Gpib Sesuai dengan Tata Gereja GPIB dan Prinsip Manajemen), diakses Juli 18, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12806/4/T2_912013008_BAB%20IV.pdf
- Randas 06 Tata Gereja - GPIB Indonesia, diakses Juli 18, 2025, https://gpib.or.id/wp-content/uploads/2019/10/Randas-06-Tata-Gereja.docx
- JPCC - YouTube, diakses Juli 18, 2025, https://www.youtube.com/user/JPCCTV/about
- Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_dan_Lembaga-Lembaga_Injili_Indonesia
- (PDF) Relasi Intra-Kristiani di Indonesia: Gereja-Gereja Arus Utama ..., diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/334132007_Relasi_Intra-Kristiani_di_Indonesia_Gereja-Gereja_Arus_Utama_dan_Pentakosta
- Aras Nasional Di Indonesia | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/832843444/Aras-Nasional-Di-Indonesia
- Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/doc/45289139/Sejarah-Gereja-Protestan-Di-Indonesia
- Tata Gereja GPIB 2021-2026 | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/634286736/Tata-Gereja-GPIB-2021-2026
- Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_Indonesia_bagian_Barat
- Tata Gereja GPIB - Flip eBook Pages 151-200 - AnyFlip, diakses Juli 18, 2025, https://anyflip.com/hyvkv/kwau/basic/151-200
- PPMJ - GPIB Bethania Jakarta, diakses Juli 18, 2025, http://gpibbethania.org/ppmj/
- Churches in Indonesia: How do they differ, really? | by Jonathan K ..., diakses Juli 18, 2025, https://jonathan-k.medium.com/churches-in-indonesia-how-do-they-differ-really-67820c1a7461
- About Us - jpcc.org, diakses Juli 18, 2025, https://www.jpcc.org/about
- Gereja Mawar Sharon | S1 | Terakreditasi | Universitas STEKOM Semarang, diakses Juli 18, 2025, https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Gereja_Mawar_Sharon
- Paper Pertumbuhan Gereja - Gms | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/423432920/Paper-Pertumbuhan-Gereja-Gms
- Gereja Mawar Sharon - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Mawar_Sharon
- GEREJA MAWAR SHARON PUSAT DI SURABAYA - Publication of Petra Christian University, diakses Juli 18, 2025, https://publication.petra.ac.id/index.php/teknik-arsitektur/article/view/5025/4627
- Gereja di Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_di_Indonesia
- jpcc.org: Home, diakses Juli 18, 2025, https://www.jpcc.org/
- View of PERKEMBANGAN KOMSEL PELAJAR DALAM PERTUMBUHAN ROHANI JEMAAT GBI GRAHA PENA JAKARTA - Open Journal Systems, diakses Juli 18, 2025, https://journal.sttbetheltheway.ac.id/index.php/teologi-dan-kependidikan/article/view/6/6
- Pengaruh Kelompok Sel terhadap Pertumbuhan Jemaat Gereja Bethel Indonesia Simalingkar B Medan - Misi William Carey, diakses Juli 18, 2025, https://sttmwc.ac.id/e-journal/index.php/haggadah/article/download/21/20
- 21 62 1 PB | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/750076033/21-62-1-PB
- PERANAN KELOMPOK SEL TERHADAP PERTUMBUHAN ... - Neliti, diakses Juli 18, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/381556-peranan-kelompok-sel-terhadap-pertumbuha-10d9d877.pdf
- PRAKTIK AKUNTABILITAS DI ORGANISASI GEREJA (Studi Kasus Pada Gereja Bethel Indonesia Dr. Cipto 3 Ambarawa), diakses Juli 18, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10585/2/T2_932014003_Full%20text.pdf
- DAMPAK KELOMPOK SEL BAGI PERTUMBUHAN GEREJA, diakses Juli 18, 2025, https://stthami.ac.id/ojs/index.php/hami/article/download/38/27
- PERANAN KELOMPOK SEL TERHADAP PERTUMBUHAN GEREJA HOME COMMUNITY CHURCH (HCC) DI JEMAAT PALU | BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, diakses Juli 18, 2025, https://jurnal.sttissiau.ac.id/index.php/jbs/article/view/82
- Kelompok Sel sebagai Implementasi Amanat Agung Matius 28:19-20 dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Gereja | SANCTUM DOMINE: JURNAL TEOLOGI, diakses Juli 18, 2025, https://journal.sttni.ac.id/index.php/SDJT/article/view/196
- Kelompok Sel sebagai Implementasi Amanat Agung Matius 28:19-20 dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Gereja - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/381834609_Kelompok_Sel_sebagai_Implementasi_Amanat_Agung_Matius_2819-20_dan_Dampaknya_bagi_Pertumbuhan_Gereja
- Gereja Yang Elastis Sebagai Model Bergereja di Era ... - SciSpace, diakses Juli 18, 2025, https://scispace.com/pdf/gereja-yang-elastis-sebagai-model-bergereja-di-era-digital-3ue6xgj9.pdf
- Solidaritas Jemaat di Era Gereja Digital: Suatu Tinjauan Sosio-teologis Pasca Pandemi COVID-19 di Jemaat GMIT Kaisarea BTN-Kolhua | CONSCIENTIA: Jurnal Teologi Kristen, diakses Juli 18, 2025, https://ojs.theologi.id/index.php/conscientia/article/view/83
- PELAYAN KRISTUS YANG BERDAMPAK ... - STFT Jaffray Makassar, diakses Juli 18, 2025, https://sttjaffray.ac.id/info/berita-jaffray/item/25-pelayan-kristus-yang-berdampak-di-era-masyarakat-digital
- Pengaruh Internet dan Media Sosial terhadap Pencapaian Kekudusan di Kalangan Muda Katolik Paroki SantoVincent A Paulo, Malang, diakses Juli 18, 2025, https://ejournal.aripafi.or.id/index.php/Nubuat/article/download/40/43/170
- TINJAUAN PUSTAKA PENGARUH TEKNOLOGI DAN MEDIA SOSIAL TERHADAP SPIRITUALITAS UMAT KRISTEN - tentang jurnal, diakses Juli 18, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/download/80/117
- Media Sosial Sebagai Penjalin Hubungan ... - Semantic Scholar, diakses Juli 18, 2025, https://pdfs.semanticscholar.org/8422/87816edf09aca1fd52c072c39e3068f6c534.pdf
- Pemanfaatan Teknologi Digital Bagi Efektivitas Penginjilan dan Pemuridan Generasi- Z - GRAFTA, diakses Juli 18, 2025, https://www.grafta.stbi.ac.id/index.php/GRAFTA/article/download/79/46
- Media Sosial Dan Perdebatan Politik: Upaya Gereja Mereduksi Konflik Pemilu di Era Digital Dalam Bingkai Etis Teologis | Request PDF - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/382603648_Media_Sosial_Dan_Perdebatan_Politik_Upaya_Gereja_Mereduksi_Konflik_Pemilu_di_Era_Digital_Dalam_Bingkai_Etis_Teologis
- DARI DEBAT KE DIALOG: PERSAHABATAN ANTARIMAN YANG AUTENTIK DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN FROM DEBATE TO DIALOGUE, diakses Juli 18, 2025, https://jurnaldialog.kemenag.go.id/index.php/dialog/article/download/408/217
- Hiruk-pikuk Debat Islam-Kristen di Medsos - Inipasti, diakses Juli 18, 2025, https://inipasti.com/hiruk-pikuk-debat-islam-kristen-di-medsos/
- Tantangan Kepemimpinan Kristen di Era Disrupsi: Tanggung Jawab, Integritas, dan Adaptasi dalam Melayani Gereja - Kharisma: Jurnal Ilmiah Teologi, diakses Juli 18, 2025, https://jurnalsttkharisma.ac.id/index.php/Kharis/article/view/256
- Roh Kudus dan Good Governance dalam ... - Theologia in Loco, diakses Juli 18, 2025, https://www.theologiainloco.com/ojs/index.php/sttjournal/article/download/226/50/973
- Dampak Berkembangnya Teologi Kontemporer Terhadap Pertumbuhan Iman Di Jemaat Gkii Antiokhia Laja, diakses Juli 18, 2025, https://jurnal.sttkn.ac.id/index.php/Veritas/article/download/313/pdf
- PENDAHULUAN, diakses Juli 18, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2560659&val=24045&title=Inkulturasi%20Liturgi%20Gereja%20Bethel%20Indonesia
- MEDIA SOSIAL DALAM MENDUKUNG MISI HOLISTIK PADA ERA DIGITAL DI GMIT JEMAAT ELIM NAIBONAT - Voice of Wesley, diakses Juli 18, 2025, https://jurnalvow.sttwmi.ac.id/index.php/jvow/article/download/188/pdf_1
Elya G. Muskitta | Airmadidi, 04 Juni 2025
Solid Church, Liquid Church dan Elastic Church
Analisa Dialektika Kekuasaan, Komunitas, dan Refleksi Teologis dalam Kehidupan Bergereja Kontemporer di Indonesia
Elya G. Muskitta
Pendahuluan: Senjakala Gereja Solid
Lanskap kekristenan kontemporer di Indonesia menampilkan sebuah panorama yang kompleks dan penuh tegangan. Di satu sisi, berdiri kokoh institusi-institusi gereja denominasional yang usianya berabad-abad, dengan struktur yang mapan, liturgi yang baku, dan tradisi yang mengakar kuat. Di sisi lain, bermunculan gereja-gereja megah yang dinamis, lincah secara mediatik, serta komunitas-komunitas iman yang tersebar dan cair di ruang digital. Koeksistensi kedua model ini bukan sekadar perbedaan gaya, melainkan menandakan sebuah pergeseran fundamental dalam cara gereja dipahami, dijalankan, dan dihayati.
Untuk membongkar kompleksitas ini, laporan ini mengusulkan sebuah kerangka analisis utama: metafora "Gereja Solid" versus "Gereja Cair" maupun “Gereja Elastis”. Gereja Solid didefinisikan oleh strukturnya yang tetap, otoritas hierarkis, dan batas-batas yang jelas. Sebaliknya, Gereja Cair dicirikan oleh fluiditas, hubungan berbasis jaringan, dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Sementara itu Gereja Elastis didefinisikan sebagai gereja yang mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia: kedalaman teologis dan stabilitas struktural dari Gereja Solid dengan fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, dan dinamisme misioner dari Gereja Cair. Fokus utama analisis ini pada Gereja Solid dan Gereja Cair, kemudian di bagian akhir dari dokumen ini Gereja Elastis dihadirkan sebagai usulan jalan tengah, yang menggabungkan kedua kategori gereja terdahulu.
Analisis ini dibingkai oleh metafora filosofis "Burung Hantu Minerva" dari G.W.F. Hegel.1 Hegel berpendapat bahwa pemahaman sejati atas sebuah era historis hanya mungkin terjadi secara retrospektif, saat era tersebut mendekati senjanya.3 Kemampuan kita untuk mendefinisikan dan menganalisis "Gereja Solid" dengan begitu jelas justru merupakan pertanda bahwa masa dominasinya yang tak tergoyahkan mulai memudar. Burung hantu kebijaksanaan filosofis baru membentangkan sayapnya saat senja tiba, memungkinkan pemahaman komprehensif atas suatu "bentuk kehidupan yang telah menua".2 Implikasinya, pemahaman kita terhadap Gereja Cair yang sedang bangkit ini, secara inheren, bersifat sementara dan terus berkembang.
Tesis utama laporan ini adalah bahwa transisi dari Gereja Solid ke Gereja Cair di Indonesia bukanlah proses penggantian yang sederhana, melainkan sebuah proses dialektis yang kompleks. Transisi ini merepresentasikan pergeseran mendasar dalam logika kekuasaan, dari Solid Power (kekuasaan berbasis kontrol birokratis) menuju Liquid Power (kekuasaan berbasis pengaruh yang sukar dipahami); transformasi dalam struktur komunitas dari hierarki institusional menjadi jaringan terdesentralisasi; serta perubahan dalam moda pengawasan dari Panopticon yang bersifat dari-atas-ke-bawah menjadi Synopticon yang resiprokal. Laporan ini akan menganalisis transisi tersebut melalui lensa teoritis dan studi kasus konkret di Indonesia untuk memahami implikasinya bagi masa depan gereja.
Bagian I: Fondasi Teoretis - Kekuasaan dalam Modernitas Solid dan Cair
Bab 1: Dialektika Soliditas dan Likuiditas Baumanian
Untuk memahami dinamika yang membentuk lanskap gereja saat ini, kerangka kerja sosiolog Zygmunt Bauman mengenai modernitas "solid" dan "cair" menjadi sangat relevan. Pergeseran ini tidak hanya mengubah masyarakat, tetapi juga logika kekuasaan yang beroperasi di dalamnya.
Dari Modernitas Solid ke Modernitas Cair
Menurut Bauman, fase awal modernitas, yang disebutnya "modernitas solid", ditandai oleh stabilitas, prediktabilitas, dan institusi yang langgeng.5 Dalam era ini, individu tertanam dalam peran sosial yang tetap—seperti keluarga, pekerjaan seumur hidup, dan komunitas lokal—yang memberikan rasa aman dan identitas yang jelas.5 Tatanan sosial diupayakan menjadi solid, terstruktur, dan dapat dikelola, layaknya logam berat dalam era industri.
Namun, era ini telah digantikan oleh "modernitas cair" (liquid modernity), sebuah kondisi yang ditandai oleh aliran, ketidakpastian, dan transformasi konstan.5 Ikatan-ikatan permanen telah larut; setiap komitmen bersifat sementara dan harus dapat dilepaskan dengan mudah saat keadaan berubah.6 Bauman menggunakan metafora cairan untuk menggambarkan kondisi ini: cairan, tidak seperti benda padat, tidak dapat mempertahankan bentuknya dan terus-menerus beradaptasi dengan wadahnya. Bagi cairan, yang terpenting bukanlah ruang yang ditempati, melainkan aliran waktu yang terus berubah.7 Era ini didominasi oleh individualisasi, di mana setiap orang dituntut untuk "menciptakan sendiri" identitas mereka, dan konsumerisme menjadi sarana utama untuk ekspresi diri.5
Sifat Kekuasaan Solid dan Cair
Seiring dengan pergeseran kondisi modernitas, sifat kekuasaan pun turut bertransformasi.
- Solid Power (Kekuasaan Solid): Ini adalah model kekuasaan yang beroperasi di era modernitas solid. Kekuasaan ini terikat pada struktur birokrasi dan institusi yang kokoh, seperti negara-bangsa atau pabrik Fordis. Cara kerjanya adalah dengan "mengontrol dan membatasi kemungkinan-kemungkinan" (controlling limiting possibilities).8 Kekuasaan ini bersifat teritorial, membutuhkan kehadiran fisik, dan dijalankan melalui manajemen, pengawasan, paksaan, dan hukuman dalam ruang-ruang yang terdefinisi dengan jelas.7 Tujuannya adalah membangun sebuah tatanan yang dapat diprediksi dan dikelola.
- Liquid Power (Kekuasaan Cair): Ini adalah model kekuasaan yang dominan di era modernitas cair, yang dijalankan oleh elite global baru. Kekuasaan ini tidak lagi terikat pada ruang dan tidak beroperasi melalui paksaan, melainkan melalui kelincahan, kecepatan, dan kemampuannya untuk melepaskan diri dari ikatan (elusiveness).7 Kekuasaan cair mendominasi bukan dengan membatasi, melainkan dengan menciptakan "ketidakpastian dan ketidakamanan" bagi orang lain, seraya memastikan mobilitasnya sendiri.8 Strategi utamanya adalah deregulasi dan penghindaran komitmen jangka panjang yang dapat "menggadaikan masa depan".9 Kekuasaan ini mengalir seperti air, melewati rintangan, melarutkan sebagian, dan merembes melalui yang lain, tanpa terpengaruh oleh pertemuannya dengan struktur-struktur solid.7
Ikatan Dialektis
Penting untuk dipahami bahwa soliditas dan likuiditas bukanlah sebuah dikotomi yang sederhana, melainkan terkunci dalam sebuah "ikatan dialektis".9 Proyek modernitas sejak awal adalah tentang "melelehkan segala yang padat" (melting the solids), yaitu tradisi-tradisi pra-modern.7 Namun, tujuan awalnya bukanlah untuk menghapuskan soliditas selamanya, melainkan untuk menggantikan "benda-benda padat yang cacat" dengan "benda-benda padat yang baru dan lebih baik"—seperti negara-bangsa yang rasional dan birokrasi yang efisien.7
Dalam fase cair, tujuan ini berubah. Idealnya bukan lagi soliditas, melainkan fleksibilitas. Struktur-struktur yang dibangun kini bersifat sementara, "sampai pemberitahuan lebih lanjut", dan harus dirancang agar mudah dibongkar kembali sesuai permintaan.9 Bauman menyatakan bahwa pencarian akan soliditas yang sempurnalah yang secara ironis justru memicu dan menggerakkan proses pelumeran (likuifaksi).9
Penerapan logika ini pada institusi gereja menunjukkan bahwa semakin sebuah "Gereja Solid" berusaha menegakkan kontrol yang kaku, mendefinisikan batas-batas doktrinal yang ketat, dan menciptakan tatanan yang tidak dapat diubah, semakin ia secara tidak sengaja menciptakan kondisi bagi munculnya gerakan-gerakan "cair". Jemaat yang mencari ekspresi iman yang lebih personal, fleksibilitas dalam komunitas, atau relevansi kontekstual yang lebih dinamis akan cenderung "mengalir" menjauh dari struktur yang kaku menuju bentuk-bentuk persekutuan yang lebih adaptif. Upaya untuk membuat benteng menjadi tak tertembus justru membuat dunia di luar benteng tampak lebih menarik dan dinamis. Dengan demikian, kebangkitan Gereja Cair bukanlah semata-mata ancaman eksternal bagi Gereja Solid, melainkan, sebagian, merupakan produk dari logika internal Gereja Solid itu sendiri dan keterbatasannya dalam menghadapi dunia modern yang cair.
Atribut | Gereja Solid | Gereja Cair |
Struktur | Hierarkis (Sinodal/Episkopal), Terpusat, Birokratis | Jaringan (Networked), Terdesentralisasi, Organis |
Otoritas | Posisional, Institusional, Berdasarkan Jabatan (Office) | Karismatik, Relasional, Berdasarkan Pengaruh (Influence) |
Model Kekuasaan | Solid Power (Kontrol melalui pembatasan dan aturan) | Liquid Power (Dominasi melalui ketidakpastian, mobilitas, dan pengaruh) |
Komunitas | Berpusat pada institusi (Institution-centric) | Berpusat pada individu dan relasi (Individual-centric) |
Identitas | Kolektif, Denominasional, Diberikan oleh institusi | Dikonstruksi sendiri, Eksperiensial, Pilihan pribadi |
Gaya Ibadah | Liturgis, Tradisional, Terstruktur, Formal | Kontemporer, Ekspresif, Berbasis pengalaman, Informal |
Tujuan Utama | Menjaga tatanan, melestarikan tradisi, kemurnian doktrin | Pertumbuhan (kuantitas), relevansi, dampak personal |
Risiko Utama | Rigiditas, Irelevansi, Birokratisme | Superficialitas, Konsumerisme spiritual, Krisis akuntabilitas |
Contoh di Indonesia | Gereja-gereja aras PGI (mis. GPIB, GKI), Gereja Katolik | Gereja non-denominasi (mis. JPCC), Gereja Karismatik (mis. GMS), Gerakan Komsel |
Bab 2: Arsitektur Kekuasaan - Dari Panopticon ke Synopticon
Pergeseran dari kekuasaan solid ke cair juga tercermin dalam cara pengawasan dan disiplin dijalankan. Dua model arsitektur kekuasaan yang kontras, Panopticon dari Michel Foucault dan Synopticon dari Thomas Mathiesen, menyediakan lensa untuk memahami mekanisme kontrol dalam Gereja Solid dan Gereja Cair.
Kekuasaan Panoptis Foucault
Dalam analisisnya, Foucault menggunakan desain penjara Panopticon karya Jeremy Bentham sebagai metafora utama untuk kekuasaan disipliner di era modernitas solid.11 Panopticon adalah sebuah bangunan melingkar dengan menara pengawas di tengahnya. Dari menara ini, segelintir penjaga dapat mengawasi banyak narapidana di sel-sel mereka, namun para narapidana tidak pernah tahu kapan tepatnya mereka sedang diawasi.12
"Jebakan visibilitas" (visibility is a trap) ini menciptakan rasa keterlihatan yang permanen dan sadar (conscious and permanent visibility) pada diri narapidana.11 Akibatnya, mereka mulai menginternalisasi tatapan pengawas dan mendisiplinkan diri mereka sendiri secara spontan.13 Kekuasaan menjadi otomatis, efisien, dan tertanam dalam tubuh subjek.14 Bagi Foucault, Panopticon bukan hanya sebuah bangunan, melainkan "diagram kekuasaan yang direduksi ke bentuk idealnya"—sebuah model umum untuk mendefinisikan relasi kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, pabrik, rumah sakit, maupun barak militer.11 Ini adalah mekanisme Solid Power yang sempurna.
Kekuasaan Sinoptis Mathiesen
Sebagai tandingan dari Panopticon, sosiolog Norwegia Thomas Mathiesen memperkenalkan konsep Synopticon.16 Berasal dari kata Yunani synoptes ("melihat bersama"), Synopticon adalah sebuah sistem kontrol resiprokal di mana "yang banyak mengawasi yang sedikit" (the many watch the few).16 Awalnya, Mathiesen mengaitkan konsep ini dengan media massa, terutama televisi, yang memungkinkan masyarakat luas untuk mengamati dan mengawasi para elite politik, selebritas, dan figur publik lainnya.16
Di era internet dan media sosial, konsep ini berkembang menjadi sebuah kondisi di mana "semua orang mengawasi semua orang" (everybody watches everybody else).18 Contoh nyata dari kekuatan sinoptis adalah ketika warga merekam tindakan aparat kepolisian dengan ponsel mereka, yang dapat mendorong aparat untuk lebih berhati-hati dan mendisiplinkan diri.18 Ini adalah pengawasan dari bawah ke atas (surveillance from below).
Interaksi dan "Sinoptisisme Ilusif"
Meskipun Synopticon tampak sebagai kekuatan penyeimbang yang memberdayakan terhadap Panopticon, hubungan keduanya lebih kompleks. Keduanya dapat saling memperkuat dalam apa yang disebut Mathiesen sebagai "The Viewer Society".16 Lebih jauh, beberapa pemikir mengemukakan adanya "sinoptisisme ilusif" (illusory synopticism).19 Perasaan berkuasa dan terkontrol yang dialami oleh pengguna saat berinteraksi di media sosial—misalnya dengan mengkritik seorang politisi—bisa jadi hanya ilusi. Di balik layar, struktur panoptis raksasa tetap beroperasi, di mana platform teknologi mengumpulkan data dan mengawasi setiap gerak-gerik pengguna untuk kepentingan komersial atau lainnya.
Peralihan dari Gereja Solid ke Gereja Cair melibatkan pergeseran dari moda kekuasaan yang primernya Panoptis ke sebuah sistem hibrida di mana elemen-elemen Panoptis tetap ada namun kini berdampingan dengan lapisan Sinoptis yang sangat kuat dan terlihat. Panopticon dapat dipandang sebagai "sistem operasi" dari Gereja Solid. Sinode atau dewan gereja pusat berfungsi sebagai 'menara pengawas', sementara jemaat-jemaat lokal adalah 'sel-sel'-nya. 'Tatapan' pengawasan ini dijalankan melalui mekanisme formal seperti laporan keuangan, audit, pemeriksaan doktrinal, dan ketaatan pada Tata Gereja.20 Hal ini memastikan keseragaman dan kepatuhan.
Sebaliknya, Synopticon adalah "sistem operasi" dari Gereja Cair. Para pemimpin gereja megah (megachurch) terus-menerus 'diawasi' oleh jemaat yang jumlahnya masif melalui siaran langsung khotbah, unggahan media sosial, dan podcast.22 Para jemaat juga saling mengawasi satu sama lain dalam forum-forum online dan kelompok-kelompok sel. Ini menciptakan jenis disiplin yang berbeda—disiplin yang didasarkan pada manajemen persepsi publik, pemeliharaan relevansi, dan akuntabilitas antar-sesama. Namun, kritik "sinoptisisme ilusif" juga berlaku di sini.19 Apakah kemampuan seorang jemaat untuk memberi 'like' atau 'komentar' pada unggahan seorang pendeta benar-benar menandakan pergeseran kekuasaan, ataukah itu hanya memperkuat status selebritas sang pendeta dalam sebuah sistem yang tetap memusatkan pengaruh padanya?
Model Pengawasan | Deskripsi | Aplikasi dalam Gereja Solid | Aplikasi dalam Gereja Cair |
Panopticon (Foucault) | Yang sedikit mengawasi yang banyak. Kekuasaan dari atas ke bawah, terinternalisasi, menciptakan disiplin. | Sinode sebagai Menara Pengawas: Pengawasan melalui Tata Gereja, laporan keuangan, visitasi, dan penempatan pendeta. Jemaat lokal dan pendeta mendisiplinkan diri agar sesuai dengan aturan sinodal. | Struktur Internal: Meskipun cair, gereja besar tetap memiliki struktur internal (HR, keuangan) yang beroperasi secara panoptis untuk mengelola staf dan sumber daya. |
Synopticon (Mathiesen) | Yang banyak mengawasi yang sedikit (dan semua orang mengawasi semua orang). Kekuasaan resiprokal, berbasis media. | Transparansi Terbatas: Laporan keuangan yang diumumkan dalam warta jemaat adalah bentuk sinoptisisme terbatas. Jemaat dapat "mengawasi" pengelolaan dana. | Kekuasaan Sinoptis Penuh: Pendeta dan pemimpin terus-menerus diawasi publik melalui media sosial. Jemaat saling mengawasi dalam Komsel dan grup online. Disiplin didasarkan pada reputasi dan akuntabilitas relasional. |
Bagian II: Manifestasi Gereja Solid di Indonesia
Gereja Solid di Indonesia termanifestasi paling jelas dalam bentuk denominasi-denominasi mapan dengan struktur hierarkis dan badan-badan aras nasional yang berfungsi sebagai payung organisasi. Struktur ini dirancang untuk menciptakan ketertiban, kesatuan, dan keberlanjutan, yang merupakan ciri khas dari Solid Power.
Bab 3: Institusi sebagai Benteng - Badan Aras Nasional dan Denominasi Mapan
Dalam lanskap kekristenan Indonesia yang beragam, institusi-institusi gerejawi yang solid memainkan peran krusial sebagai benteng stabilitas. Mereka berfungsi untuk menjaga identitas, memediasi hubungan dengan negara, dan mempertahankan tatanan di tengah arus perubahan sosial yang deras.
Peran Badan Aras Nasional
Badan-badan aras nasional seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), dan Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) adalah perwujudan dari Solid Power dalam skala makro.23 Fungsi utama mereka adalah:
- Menciptakan Keteraturan: Mereka menyediakan wadah formal bagi ratusan sinode gereja, memungkinkan koordinasi dan komunikasi yang terstruktur.24
- Representasi Kolektif: Mereka bertindak sebagai suara kolektif umat Kristen dalam dialog dengan pemerintah dan kelompok agama lain, misalnya melalui keanggotaan dalam Majelis-majelis Agama di Indonesia (MAI).24
- Menetapkan Batasan dan Kesatuan: PGI, misalnya, memiliki Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang mengikat gereja-gereja anggotanya dalam sebuah kesepakatan bersama, termasuk piagam saling mengakui dan menerima.24 Ini adalah upaya untuk "memadatkan" keragaman menjadi sebuah kesatuan yang solid.
Struktur yang sangat terorganisir dari badan-badan ini dan denominasi-denominasi mapan dapat dilihat sebagai mekanisme pertahanan terhadap kekuatan individualisasi dan fragmentasi dari modernitas cair. Penekanan pada sejarah 26, aturan formal 27, dan identitas kolektif ("kesatuan dan keesaan") 24 memberikan rasa stabilitas dan keakaran di dunia di mana hal-hal tersebut semakin terkikis. Namun, soliditas ini juga bisa menjadi sumber ketegangan. Struktur yang kaku dapat menyulitkan adaptasi terhadap realitas sosial baru atau kebutuhan spiritual generasi muda yang lebih terbiasa dengan lingkungan yang cair. Beban sejarah, seperti asosiasi beberapa gereja tua dengan era kolonial yang memunculkan kecurigaan bahwa mereka adalah "kaki tangan Belanda" 26, menunjukkan bagaimana identitas yang solid juga dapat menjadi sebuah beban. Dengan demikian, Gereja Solid di Indonesia, yang dicontohkan oleh institusi seperti GPIB, memanfaatkan kekuatan kelembagaan dan kesinambungan historisnya untuk memberikan stabilitas, tetapi struktur yang kaku dan dinamika kekuasaan dari atas ke bawah membuatnya rentan dianggap usang atau tidak responsif dalam masyarakat modern yang cair.
Studi Kasus: Tata Kelola dan Struktur Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
GPIB adalah contoh arketipal dari Gereja Solid di Indonesia. Tata kelolanya yang diatur secara rinci dalam Tata Gereja menunjukkan sebuah sistem kekuasaan yang terstruktur, hierarkis, dan terpusat.
- Tata Gereja sebagai Cetak Biru Solid: Tata kelola GPIB dikodifikasikan dalam dokumen komprehensif yang disebut Tata Gereja.20 Dokumen ini dianggap sebagai "otak" organisasi, yang berisi semua aturan dan prosedur untuk setiap kegiatan, memastikan stabilitas dan prediktabilitas.20 Ini adalah cetak biru yang solid untuk menjaga tatanan gereja.
- Sistem Presbiterial-Sinodal: Sistem ini pada dasarnya bersifat hierarkis. Kepemimpinan tertinggi berada di tangan Majelis Sinode, yang keputusannya mengikat bagi Majelis Jemaat di tingkat lokal.21 Alur pengambilan keputusan mengalir dari atas (Persidangan Sinode) ke bawah (jemaat-jemaat).29 Persidangan Sinode, yang diadakan secara berkala (tahunan atau lima tahunan), adalah lembaga pengambilan keputusan tertinggi yang menetapkan kebijakan umum, tata gereja, dan memilih fungsionaris Majelis Sinode.21
- Kontrol Terpusat atas Sumber Daya dan Personel: Majelis Sinode memiliki otoritas atas aset, keuangan (dengan sistem "sentralisasi terbatas"), dan penempatan pendeta di seluruh jemaat.20 Sentralisasi ini adalah ciri khas Solid Power, yang memastikan bahwa sumber daya dan personel dikelola sesuai dengan rencana terpadu dari pusat, bukan berdasarkan inisiatif jemaat lokal semata.
Bab 4: Kekuasaan Panoptis dalam Gereja Solid
Struktur hierarkis GPIB dan denominasi mapan lainnya dapat dianalisis secara efektif melalui lensa Panopticon Foucault. Majelis Sinode berfungsi sebagai "menara pengawas" pusat, dan "tatapan"-nya dijalankan melalui berbagai mekanisme yang memastikan kepatuhan dan keseragaman di seluruh "sel" jemaat.
Sinode sebagai Menara Pengawas Pusat
Mekanisme panoptis dalam struktur GPIB meliputi:
- Keseragaman Doktrinal dan Liturgis: Majelis Sinode menetapkan Pemahaman Iman dan Tata Ibadah yang berlaku untuk semua jemaat. Hal ini memastikan bahwa ajaran dan praktik peribadatan tetap seragam dan sesuai dengan garis teologis yang telah ditetapkan, mencegah penyimpangan di tingkat lokal.21
- Pengawasan Keuangan: Kewajiban bagi setiap jemaat untuk menyerahkan laporan keuangan secara berkala kepada Majelis Sinode, serta keberadaan badan pemeriksa perbendaharaan (BPPG di tingkat sinodal dan BPPJ di tingkat jemaat), menciptakan sebuah sistem panoptisisme finansial. Setiap transaksi dan pengelolaan aset berada di bawah pengawasan pusat.20
- Disiplin Klerikal: Otoritas Majelis Sinode untuk mengangkat, memindahkan, dan menjatuhkan sanksi disipliner kepada para pendeta adalah bentuk kontrol yang paling kuat.21 Ini memastikan bahwa para pelayan jemaat tetap patuh pada aturan dan teologi gereja. Jika seorang pendeta menyimpang, Sinode memiliki kuasa untuk menindaknya.
Internalisasi Tatapan Pengawas
Akibat dari sistem ini, para pemimpin jemaat lokal (Pelaksana Harian Majelis Jemaat atau PHMJ) dan pendeta menginternalisasi aturan-aturan ini. Mereka secara sadar mengatur ajaran, tata kelola, dan praktik keuangan mereka agar selaras dengan Tata Gereja, karena mereka tahu bahwa mereka bertanggung jawab dan akan diawasi oleh Sinode. Ini adalah perwujudan dari tesis Foucault di mana kekuasaan tidak lagi memerlukan paksaan fisik terus-menerus; ia bekerja secara otomatis karena subjek telah menjadi "prinsip dari penaklukannya sendiri".13 Sistem ini secara efisien memastikan "pengaturan massa manusia" dan meningkatkan "kepatuhan dan kegunaan" dari seluruh elemen sistem, persis seperti yang digambarkan Foucault.11
Kekuasaan panoptis di dalam Gereja Solid ini memiliki fungsi ganda yang paradoksal. Di satu sisi, ia berfungsi positif untuk memastikan akuntabilitas, mencegah penyimpangan ajaran (dari perspektif institusi), dan melindungi dari penyalahgunaan keuangan. Ini adalah tujuan-tujuan yang mulia dan penting untuk kesehatan sebuah organisasi. Di sisi lain, mekanisme kontrol yang sama dapat mematikan inovasi lokal, menekan ekspresi teologis yang kontekstual, dan menciptakan budaya kepatuhan (compliance) daripada misi yang kreatif. Kekuasaan ini, seperti kata Foucault, bersifat produktif—ia memproduksi realitas dan ritus kebenaran.15 Dalam hal ini, ia memproduksi tipe subjek Kristen yang "tertib" dan seragam. Namun, hal ini mungkin dicapai dengan mengorbankan dinamisme dan kemampuan beradaptasi yang sangat dibutuhkan untuk berkembang di dunia yang cair. Dengan demikian, kekuasaan panoptis dalam Gereja Solid adalah pedang bermata dua: ia memberikan stabilitas dan akuntabilitas, tetapi juga berisiko menyebabkan kekakuan institusional dan menekan vitalitas yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman.
Bagian III: Kebangkitan Gereja Cair di Indonesia
Seiring dengan semakin meresapnya modernitas cair ke dalam tatanan sosial, muncullah model-model gereja baru yang secara fundamental berbeda dari institusi solid yang telah mapan. Gereja-gereja ini, yang dapat dikategorikan sebagai "Gereja Cair", dicirikan oleh struktur yang fleksibel, fokus pada pengalaman personal, dan penguasaan media digital. Mereka tidak lagi terikat pada tradisi denominasional yang kaku, melainkan mengalir mengikuti arus budaya kontemporer.
Bab 5: Jaringan dan Aliran - Gereja Non-Denominasi dan Karismatik
Gereja-gereja non-denominasi dan karismatik adalah representasi paling menonjol dari fenomena Gereja Cair di Indonesia. Mereka menolak untuk terikat pada label-label denominasi tradisional dan lebih memilih untuk mendefinisikan diri mereka melalui pengalaman ibadah yang dinamis dan komunitas yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Karakteristik Gereja Cair
Ciri-ciri utama dari gereja-gereja ini meliputi:
- Ibadah Kontemporer: Ibadah mereka sering kali menyerupai konser musik, dengan band lengkap, tata cahaya canggih, dan musik yang keras dan penuh semangat. Ini menciptakan pengalaman yang imersif dan emosional.31
- Fokus pada Generasi Muda: Mereka sangat berhasil menarik kalangan muda dengan menggunakan bahasa, musik, dan media yang sesuai dengan budaya populer.31
- Struktur yang Fleksibel: Struktur organisasi mereka lebih cair, sering kali berpusat pada figur seorang pendeta senior yang karismatik dan didukung oleh jaringan kampus-kampus satelit dan kelompok-kelompok kecil.32
Kekuasaan dalam gereja-gereja ini tidak lagi terletak pada institusi yang solid, melainkan pada pengaruh (influence) yang cair dari pemimpin karismatiknya. Pengaruh ini tidak terbatas pada gedung gereja; ia mengalir bebas melalui media digital, musik, buku, dan konferensi. Otoritas seorang pemimpin tidak dipertahankan melalui buku peraturan formal, tetapi melalui kemampuannya untuk tetap relevan, membangun merek pribadi yang kuat, dan terhubung secara emosional dengan audiens massa. Ini sangat selaras dengan konsep Bauman tentang elite baru yang mendominasi melalui mobilitas dan pengaruh, bukan melalui kontrol statis. Oleh karena itu, Gereja Cair di Indonesia berkembang pesat dengan menjalankan Liquid Power, di mana pengaruh dilepaskan dari lokasi fisik dan otoritas disematkan pada figur-figur karismatik serta kemampuan mereka untuk menavigasi aliran budaya kontemporer.
Studi Kasus: Pertumbuhan dan Struktur Gereja Mawar Sharon (GMS)
Perjalanan GMS adalah sebuah narasi klasik tentang bagaimana sebuah aliran cair dapat tumbuh dan akhirnya memadat menjadi struktur baru.
- Dari Persekutuan Doa menjadi Sinode: GMS berawal dari sebuah persekutuan doa kecil pada tahun 1984, yang kemudian berkembang pesat dan akhirnya memisahkan diri dari naungan GBI untuk membentuk sinode sendiri pada tahun 2001.33 Trajektori ini sendiri bersifat "cair"—sebuah aliran energi spiritual yang akhirnya menemukan wadah institusionalnya sendiri.
- Visi Gereja Sel yang Apostolik dan Profetik: Visi inti GMS adalah menjadi "Gereja Sel yang Apostolik dan Profetik".33 Model ini menekankan multiplikasi dan ekspansi yang cepat melalui jaringan kelompok sel (Connect Group) dan gereja-gereja satelit di berbagai kota dan bahkan negara.34
- Pelayanan Tertarget dan Pencitraan Merek: GMS menggunakan pelayanan yang ditargetkan secara spesifik (misalnya untuk wanita, pengusaha, pemuda) dan pencitraan merek yang kuat (melalui logo, arsitektur gereja yang ikonik, dan produksi media berkualitas tinggi) untuk menarik demografi tertentu.34 Ini adalah strategi yang sangat umum dalam budaya konsumerisme di era modernitas cair, di mana individu memilih produk (termasuk produk spiritual) yang paling sesuai dengan identitas dan gaya hidup mereka.5
Studi Kasus: Komunitas dan Tata Kelola Jakarta Praise Community Church (JPCC)
JPCC menunjukkan model Gereja Cair yang berfokus pada relevansi, komunitas, dan pengaruh global.
- Struktur dan Kepemimpinan: Meskipun secara formal berada di bawah Sinode Jemaat Kristen Indonesia (JKI) yang berakar pada tradisi Menonit 37, JPCC beroperasi dengan citra sebagai entitas non-denominasi. Kepemimpinannya jelas, dengan pendeta senior dan pendeta-pendeta asosiasi, namun identitas publiknya dibangun di sekitar ide komunitas, relevansi, dan dampak global.32
- Penekanan pada Kelompok Kecil (DATE): Mekanisme utama bagi seseorang untuk "tertanam" di dalam gereja bukanlah melalui keanggotaan formal, melainkan dengan bergabung dalam kelompok kecil yang disebut DATE (Discipleship, Accountability, Transformation, Empowerment).22 Ini menyoroti pergeseran dari keanggotaan institusional ke koneksi relasional.
- Kehadiran Digital yang Kuat dan Pengaruh Global: JPCC memanfaatkan kehadiran online yang masif—melalui kanal YouTube, podcast, aplikasi, dan media sosial—serta merek-merek terkait seperti JPCC Worship dan Relevant Leadership Academy (RLA) untuk memperluas pengaruhnya jauh melampaui kampus-kampus fisiknya.22 Ini adalah strategi kunci dari Liquid Power, di mana pengaruh tidak lagi dibatasi oleh geografi.
Bab 6: Sel sebagai Unit Cair - Dinamika Komsel
Jika ibadah raya di gereja megah adalah "pertunjukan" utamanya, maka kelompok sel (Komsel, Connect Group, dll.) adalah jaringan "kapiler"-nya, tempat di mana pengaruh dan kekuasaan benar-benar bersirkulasi.8 Kelompok sel adalah fenomena kunci di banyak gereja karismatik dan Pentakosta yang bertumbuh pesat di Indonesia, seperti GBI dan GMS.39
Fenomena Kelompok Sel
Komsel adalah kelompok kecil informal yang bertemu setiap minggu di rumah-rumah, kafe, atau kantor untuk bersekutu, berdoa, dan mendalami Alkitab.39 Ia merupakan struktur yang cair: dapat terbentuk di mana saja, kepemimpinannya sering kali dipegang oleh jemaat awam dan bersifat rotasional, dan tujuan utamanya adalah untuk mengalir dan berlipat ganda. Struktur jaringan terdesentralisasi ini sangat cocok dengan modernitas cair, karena menawarkan keintiman dan komunitas tanpa kekakuan sebuah institusi tradisional. Ia menciptakan bentuk pengawasan antar-sesama (sebuah micro-Synopticon) di mana anggota saling meminta pertanggungjawaban 43, sebuah bentuk kontrol yang jauh lebih cair daripada Panopticon dari atas ke bawah yang ada di Gereja Solid.
Fungsi Kelompok Sel
Fungsi utama Komsel adalah multifaset:
- Pemuridan dan Akuntabilitas: Komsel adalah wahana utama untuk pemuridan, pertumbuhan rohani, dan akuntabilitas antar-sesama (peer accountability).43 Ia menyediakan ruang untuk berbagi pengalaman pribadi dan saling mendukung, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam ibadah raya yang dihadiri ribuan orang.
- Penginjilan dan Multiplikasi: Tujuan inti dari kelompok sel adalah menjadi "ujung tombak" penginjilan dan membawa anggota baru, dengan sasaran akhir untuk membelah diri dan melahirkan sel-sel baru.46 Ini menjadikan gereja sebagai organisme yang hidup dan terus berkembang, bukan sekadar organisasi statis.
- Pelayanan Pastoral: Dalam konteks gereja megah, sistem kelompok sel memungkinkan pelayanan pastoral yang efektif. Ia menciptakan rasa kekeluargaan dan mencegah jemaat merasa "terasing" atau anonim di tengah keramaian.40
Dapat disimpulkan bahwa Komsel adalah bentuk organisasi klasik dari Gereja Cair. Ia memungkinkan pertumbuhan masif dengan cara mendesentralisasikan pelayanan pastoral dan penginjilan ke dalam sebuah jaringan komunitas kecil yang cair, adaptif, dan mudah direplikasi.
Bab 7: Gereja di Ruang Digital - Puncak Likuiditas
Jika ada manifestasi tertinggi dari "melelehnya segala yang padat", itu adalah fenomena gereja digital. Pandemi COVID-19 tidak menciptakan fenomena ini, tetapi ia bertindak sebagai katalisator yang memaksa percepatan masif ke model-model gereja online dan hibrida.48
Model-model Gereja Digital di Indonesia
Penelitian mengidentifikasi empat model utama yang muncul sebagai respons terhadap era digital di Indonesia 48:
Model | Deskripsi | Karakteristik Utama | Teknologi yang Digunakan | Relevansi di Indonesia |
Gereja Analog | Gereja konvensional yang menolak atau meminimalkan penggunaan teknologi digital dalam ibadah utamanya. | Ibadah, persekutuan, dan otoritas sangat terikat pada kehadiran fisik dan interaksi tatap muka. | Ruang fisik, buku nyanyian, instrumen akustik. | Masih tinggi di daerah pedesaan atau di antara denominasi yang sangat tradisional. |
Gereja Digilog / Phygital | Model hibrida yang menggabungkan ibadah di tempat (onsite) dengan siaran langsung (online). | Fleksibel, menjangkau jemaat yang tidak dapat hadir secara fisik. Menjadi model dominan pasca-pandemi. | Kamera, platform streaming (YouTube, Zoom), media sosial, selain ruang fisik. | Sangat dominan di gereja-gereja perkotaan dan denominasi besar. |
Gereja Elektronik (E-Church) | Seluruh pelayanan, ritus, dan komunitasnya berlangsung sepenuhnya secara online. | Tidak terikat lokasi fisik, dapat diakses kapan saja (on-demand), berfokus pada konten digital. | Situs web, aplikasi khusus, platform streaming, media sosial. | Masih bersifat niche tetapi terus bertumbuh, terutama di kalangan diaspora atau komunitas minat khusus. |
Gereja Realitas Virtual (VR) | Komunitas gereja yang bertemu dan berinteraksi dalam dunia metaverse menggunakan avatar. | Pengalaman yang sepenuhnya imersif dan terpisah dari dunia fisik. Identitas bisa bersifat anonim atau rekaan. | Perangkat VR, platform metaverse (misalnya VRChat). | Masih sangat eksperimental dan belum umum karena kendala biaya dan infrastruktur teknologi. |
Media Sosial sebagai "Ruang Sakral" Baru
Di era digital, media sosial telah bertransformasi dari sekadar alat komunikasi menjadi "ruang sakral" (sacred space) yang baru.51 Ia menjadi arena utama untuk ekspresi iman, pembentukan komunitas, pelayanan pastoral, penginjilan, dan bahkan perdebatan teologis.53 Khotbah diunggah, doa dipanjatkan melalui kolom komentar, dan kesaksian dibagikan melalui stories.
Bangkitnya Kekuasaan Sinoptis
Di ranah digital inilah dinamika pengawasan bergeser secara dramatis ke model Synopticon. Jemaat kini dapat mengamati, mengkritik, dan mengawasi para pemimpin mereka secara real-time. Khotbah, pernyataan teologis, bahkan gaya hidup para pendeta menjadi subjek pengawasan publik yang intens.55 Perdebatan teologis yang sengit meletus di platform seperti Facebook atau X (Twitter), menciptakan sebuah "masyarakat penonton" (viewer society) di mana setiap orang adalah pengamat sekaligus yang diamati.16 Hal ini memberikan tekanan besar pada para pemimpin untuk selalu tampil sempurna, relevan, dan mampu mengelola citra publik mereka dengan hati-hati.
Digitalisasi adalah pelumeran tertinggi dari segala yang padat. Ia melarutkan soliditas tempat (gedung gereja), waktu (ibadah on-demand), dan bahkan tubuh fisik (avatar di dunia VR). Otoritas menjadi lebih tersebar dan dapat diperdebatkan. Komunitas menjadi jaringan afiliasi berbasis pilihan, bukan lagi kedekatan geografis. Ini adalah gereja dalam bentuknya yang paling cair. Namun, ini juga membawa serta risiko-risiko klasik dari modernitas cair: potensi keterlibatan yang dangkal ("pendangkalan spiritualitas") 50, konsumerisasi iman (memilih gereja seperti memilih layanan streaming), dan "sinoptisisme ilusif", di mana partisipasi melalui 'like' dan 'share' menutupi kurangnya komitmen atau kekuasaan yang sesungguhnya. Gereja digital, dengan demikian, adalah ekspresi paling kuat dari paradigma Gereja Cair, yang menawarkan jangkauan dan fleksibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi juga mengajukan tantangan mendalam terhadap gagasan tradisional tentang komunitas, otoritas, dan kedalaman spiritual.
Bagian IV: Sintesis dan Refleksi - Burung Hantu Minerva Menyimpulkan
Setelah memetakan manifestasi Gereja Solid dan Gereja Cair di Indonesia, analisis akhir harus mensintesis dinamika di antara keduanya. Lanskap gerejawi saat ini bukanlah medan pertempuran di mana yang satu akan menggantikan yang lain, melainkan sebuah ekosistem hibrida yang kompleks di mana kedua model saling berinteraksi, berbenturan, dan bahkan menyatu. Refleksi ini, sekali lagi dibingkai oleh kebijaksanaan retrospektif sang Burung Hantu Minerva, memungkinkan kita untuk memahami kontur dari sebuah era transformasi yang sedang berlangsung.
Bab 8: Dialektika Solid dan Cair dalam Praktik
Interaksi antara model Gereja Solid dan Gereja Cair di Indonesia menghasilkan serangkaian tegangan dan sinergi yang membentuk kehidupan bergereja saat ini.
Tegangan dan Kontradiksi
- Perdebatan Teologis dan Polarisasi: Sifat cair dari media sosial menjadi bahan bakar bagi perdebatan teologis publik yang sering kali sengit. Isu-isu seperti teologi kemakmuran, peran perempuan dalam pelayanan, atau penafsiran Alkitab menjadi viral dan menciptakan konflik terbuka antara kelompok tradisionalis dan progresif, atau antar denominasi yang berbeda.55 Ruang publik yang tak termoderasi ini memperuncing perbedaan yang sebelumnya mungkin hanya didiskusikan di ruang-ruang seminar yang terbatas.
- Krisis Akuntabilitas: Struktur cair, terutama yang berpusat pada satu pemimpin karismatik, menghadapi tantangan signifikan dalam hal akuntabilitas keuangan dan kepemimpinan.58 Tanpa mekanisme pengawasan panoptis yang mapan seperti dalam struktur solid, penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan menjadi risiko yang nyata. Skandal yang menimpa beberapa pemimpin gereja karismatik sering kali berakar pada kurangnya sistem check and balance yang transparan.59
- Kedalaman Spiritual vs. Relevansi: Dorongan untuk terus relevan dalam Gereja Cair dapat menimbulkan tuduhan "pendangkalan spiritualitas" (pendangkalan spiritualitas), di mana pesan Injil disederhanakan atau disesuaikan agar lebih mudah diterima oleh budaya populer.50 Sebaliknya, fokus Gereja Solid pada kedalaman doktrinal dan tradisi yang tak berubah dapat membuatnya dianggap kaku dan tidak relevan oleh generasi baru.61
Sinergi dan Hibridisasi
Batas antara kedua model ini semakin kabur karena adanya saling adopsi dan adaptasi.
- Gereja Solid Menjadi Cair: Denominasi-denominasi mapan seperti GPIB dan GMIT kini semakin aktif menggunakan media sosial, layanan streaming, dan aplikasi digital untuk misi, komunikasi, dan pelayanan pastoral.53 Mereka mengadopsi alat-alat cair untuk memperluas jangkauan benteng solid mereka.
- Gereja Cair Memadat: Seiring pertumbuhannya, gereja-gereja karismatik yang awalnya sangat cair, seperti GMS, akhirnya merasa perlu untuk "memadat". Mereka mendirikan sinode sendiri, menyusun anggaran dasar, membangun gedung-gedung megah, dan menciptakan struktur administrasi yang rumit untuk mengelola pertumbuhan mereka.33 Mereka menciptakan "benda-benda padat baru" untuk menampung aliran energi mereka.
Lanskap gereja di Indonesia saat ini paling akurat digambarkan bukan sebagai biner Solid vs. Cair, melainkan sebagai ekosistem hibrida yang dinamis. Seorang Kristen di kota besar mungkin pada hari Minggu menghadiri ibadah di sebuah Gereja Solid yang tradisional, lalu selama seminggu berpartisipasi dalam Komsel bergaya cair, dan setiap hari mengonsumsi konten teologis dari pemimpin Gereja Cair global melalui YouTube. Hibriditas ini mencerminkan realitas modernitas cair, di mana individu tidak lagi menjadi milik satu institusi yang mencakup segalanya, melainkan merakit identitas mereka dari berbagai sumber. Dengan demikian, gambaran yang paling tepat adalah sebuah ekosistem di mana elemen-elemen solid dan cair berada dalam tegangan yang konstan, kreatif, dan terkadang destruktif.
Bab 9: Rekomendasi dan Arah Masa Depan - Menuju "Gereja Elastis"
Memahami dialektika ini memungkinkan kita untuk mengajukan sebuah model normatif untuk masa depan. Alih-alih terjebak dalam pilihan biner antara soliditas yang kaku dan likuiditas yang dangkal, gereja di Indonesia dapat bergerak menuju apa yang disebut sebagai "Gereja Elastis".
Memperkenalkan "Gereja Elastis"
Mengambil inspirasi dari penelitian tentang Gereja Elastis 48, model ini diusulkan sebagai jalan ke depan yang adaptif. Gereja Elastis adalah gereja yang mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia: kedalaman teologis dan stabilitas struktural dari Gereja Solid dengan fleksibilitas, kemampuan beradaptasi, dan dinamisme misioner dari Gereja Cair. Kata "elastis" menyiratkan kemampuan untuk pulih dari tekanan, meregang untuk menjangkau konteks baru tanpa putus, dan menerima ide-ide baru tanpa kehilangan bentuk intinya.
Karakteristik Gereja Elastis
Sebuah Gereja Elastis dapat didefinisikan melalui tiga karakteristik utama 48:
- Komunitas Jejaring-Partisipatif: Mendorong persekutuan yang otentik dan partisipasi aktif yang melampaui peran-peran institusional formal. Ia melihat gereja sebagai jaringan relasi yang hidup, bukan sekadar organisasi.
- Komunitas Resilien-Adaptif: Memiliki daya tahan untuk menghadapi krisis dan kemampuan untuk mengadaptasi metode pelayanannya tanpa kehilangan identitas inti dan panggilan misionalnya.
- Komunitas Misioner-Inspiratif: Berfokus ke luar pada misi Allah di dunia dan menginspirasi jemaatnya melalui kehidupan yang otentik dan relevan, bukan hanya melalui program-program yang menarik.
Rekomendasi untuk Para Pemimpin Gereja
Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi strategis dapat dirumuskan:
- Untuk Gereja-Gereja Solid:
- Merangkul Transparansi Sinoptis: Bergerak melampaui kontrol Panoptis dengan menciptakan lebih banyak saluran untuk umpan balik dari bawah ke atas. Ini termasuk transparansi yang lebih besar dalam tata kelola, terutama dalam pengambilan keputusan dan keuangan, untuk membangun kepercayaan.
- Memberdayakan Agensi Lokal: Memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi jemaat-jemaat lokal untuk mengkontekstualisasikan ibadah dan pelayanan mereka. Ini berarti beralih dari cetak biru yang kaku ke kerangka kerja yang fleksibel yang mendorong inovasi lokal.
- Untuk Gereja-Gereja Cair:
- Membangun Fondasi yang Solid: Mengembangkan sistem akuntabilitas (keuangan dan kepemimpinan) yang kokoh dan tidak bergantung pada satu figur karismatik.59 Ini melibatkan penciptaan struktur "tata kelola yang baik" (
good governance) yang transparan dan partisipatif. - Memperdalam Pemuridan: Bergerak melampaui model pelayanan yang berbasis acara dan atraksi (event-driven, attractional model) untuk menciptakan jalur yang jelas bagi pembentukan spiritual jangka panjang yang mendalam. Ini adalah penangkal risiko konsumerisme dan superficialitas spiritual.
Refleksi Penutup: Penerbangan Sang Burung Hantu Berlanjut
Laporan ini ditutup dengan kembali ke metafora Hegel. Analisis ini adalah sebuah "lukisan kelabu di atas kelabu"—sebuah upaya untuk memahami pergeseran historis saat ia sedang terjadi.2 Masa depan belum tertulis. Dialektika yang terus berlangsung antara kebutuhan akan struktur yang solid dan aliran modernitas cair yang tak terhindarkan akan terus membentuk gereja di Indonesia. Tantangan bagi para pemimpin dan jemaatnya adalah untuk menavigasi transisi ini dengan bijaksana, membangun sebuah gereja yang berakar kuat dalam iman namun tetap relevan dengan dunia—sebuah "Gereja Elastis" yang sejati. Penerbangan sang Burung Hantu Minerva akan terus berlanjut seiring senja zaman ini perlahan berubah menjadi fajar zaman yang baru.
Daftar Pustaka
- Philosophy 101: The Owl of Minerva | Expat Journal: Postcards from the Edge, diakses Juli 18, 2025, https://dennstedt.wordpress.com/2017/10/19/philosophy-101-the-owl-of-minerva/
- Owl of Minerva - Oxford Reference, diakses Juli 18, 2025, https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803100258860
- Hegel wrote: "The owl of Minerva spreads its wings only with the falling of the dusk." What did he mean? What is the owl of Minerva? And what might David Brooks be trying to convey when he writes in a recent column: "But that's the perpetual tragedy of life - Questions | AskPhilosophers.org, diakses Juli 18, 2025, https://www.askphilosophers.org/question/1579
- Hegel and the Owl of Minerva – Discourses on Minerva, diakses Juli 18, 2025, https://minervawisdom.com/2022/12/23/hegel-and-the-owl-of-minerva/
- Understanding the Concept of Liquid Modernity in Sociology, diakses Juli 18, 2025, https://easysociology.com/general-sociology/understanding-the-concept-of-liquid-modernity-in-sociology/
- The Theorist of Liquid Realms: Zygmunt Bauman, 1925-2017 - Social Science Space, diakses Juli 18, 2025, https://www.socialsciencespace.com/2017/01/theorist-liquid-realms-zygmunt-bauman-1925-2017/
- Liquid Modernity, diakses Juli 18, 2025, https://giuseppecapograssi.files.wordpress.com/2014/01/bauman-liquid-modernity.pdf
- (PDF) Liquid modernity and power: A dialogue with Zygmunt ..., diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/232820176_Liquid_modernity_and_power_A_dialogue_with_Zygmunt_Bauman_1
- Interview with Zygmunt Bauman — Theory, Culture & Society | Global Public Life, diakses Juli 18, 2025, https://www.theoryculturesociety.org/blog/interview-with-zygmunt-bauman
- Zygmunt Bauman on Liquidity vs. Solidity – Open Thinkering - Dr Doug Belshaw, diakses Juli 18, 2025, https://dougbelshaw.com/blog/2011/11/05/zygmunt-bauman-on-liquidity-vs-solidity/
- Discipline and Punish Panopticism Summary & Analysis | SparkNotes, diakses Juli 18, 2025, https://www.sparknotes.com/philosophy/disciplinepunish/section7/
- Panopticon - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Panopticon
- Michel Foucault on the Panopticon Effect - Farnam Street, diakses Juli 18, 2025, https://fs.blog/the-panopticon-effect/
- Introduction to Michel Foucault, Module on Panoptic and Carceral Culture, diakses Juli 18, 2025, https://www.purdue.edu/guidetotheory/newhistoricism/modules/foucaultcarceral.html
- Foucault-Panopticism.pdf, diakses Juli 18, 2025, https://depts.washington.edu/lsearlec/510/Texts/Foucault-Panopticism.pdf
- Revisiting the synopticon: Reconsidering Mathiesen's 'The Viewer Society' in the age of Web 2.0 - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/258192069_Revisiting_the_synopticon_Reconsidering_Mathiesen's_'The_Viewer_Society'_in_the_age_of_Web_20
- Thomas Mathiesen - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Mathiesen
- Synoptic Surveillance and Crime Control – ReviseSociology, diakses Juli 18, 2025, https://revisesociology.com/2016/10/01/synoptic-surveillance-and-crime-control/
- The Lawless Land of Social Media: A Proposal of Synopticism as a Product of Panopticism Emma East - Alpha Chi Honor Society, diakses Juli 18, 2025, https://alphachihonor.org/headquarters/files/Website%20Files/Aletheia/Volume_6_2/East_EAX0293.pdf
- Manajemen Aset GPIB (Tata Kelola Aset Gpib Sesuai dengan Tata Gereja GPIB dan Prinsip Manajemen), diakses Juli 18, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12806/4/T2_912013008_BAB%20IV.pdf
- Randas 06 Tata Gereja - GPIB Indonesia, diakses Juli 18, 2025, https://gpib.or.id/wp-content/uploads/2019/10/Randas-06-Tata-Gereja.docx
- JPCC - YouTube, diakses Juli 18, 2025, https://www.youtube.com/user/JPCCTV/about
- Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_dan_Lembaga-Lembaga_Injili_Indonesia
- (PDF) Relasi Intra-Kristiani di Indonesia: Gereja-Gereja Arus Utama ..., diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/334132007_Relasi_Intra-Kristiani_di_Indonesia_Gereja-Gereja_Arus_Utama_dan_Pentakosta
- Aras Nasional Di Indonesia | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/832843444/Aras-Nasional-Di-Indonesia
- Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/doc/45289139/Sejarah-Gereja-Protestan-Di-Indonesia
- Tata Gereja GPIB 2021-2026 | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/634286736/Tata-Gereja-GPIB-2021-2026
- Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat - Wikipedia, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_Indonesia_bagian_Barat
- Tata Gereja GPIB - Flip eBook Pages 151-200 - AnyFlip, diakses Juli 18, 2025, https://anyflip.com/hyvkv/kwau/basic/151-200
- PPMJ - GPIB Bethania Jakarta, diakses Juli 18, 2025, http://gpibbethania.org/ppmj/
- Churches in Indonesia: How do they differ, really? | by Jonathan K ..., diakses Juli 18, 2025, https://jonathan-k.medium.com/churches-in-indonesia-how-do-they-differ-really-67820c1a7461
- About Us - jpcc.org, diakses Juli 18, 2025, https://www.jpcc.org/about
- Gereja Mawar Sharon | S1 | Terakreditasi | Universitas STEKOM Semarang, diakses Juli 18, 2025, https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Gereja_Mawar_Sharon
- Paper Pertumbuhan Gereja - Gms | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/423432920/Paper-Pertumbuhan-Gereja-Gms
- Gereja Mawar Sharon - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Mawar_Sharon
- GEREJA MAWAR SHARON PUSAT DI SURABAYA - Publication of Petra Christian University, diakses Juli 18, 2025, https://publication.petra.ac.id/index.php/teknik-arsitektur/article/view/5025/4627
- Gereja di Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juli 18, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_di_Indonesia
- jpcc.org: Home, diakses Juli 18, 2025, https://www.jpcc.org/
- View of PERKEMBANGAN KOMSEL PELAJAR DALAM PERTUMBUHAN ROHANI JEMAAT GBI GRAHA PENA JAKARTA - Open Journal Systems, diakses Juli 18, 2025, https://journal.sttbetheltheway.ac.id/index.php/teologi-dan-kependidikan/article/view/6/6
- Pengaruh Kelompok Sel terhadap Pertumbuhan Jemaat Gereja Bethel Indonesia Simalingkar B Medan - Misi William Carey, diakses Juli 18, 2025, https://sttmwc.ac.id/e-journal/index.php/haggadah/article/download/21/20
- 21 62 1 PB | PDF - Scribd, diakses Juli 18, 2025, https://id.scribd.com/document/750076033/21-62-1-PB
- PERANAN KELOMPOK SEL TERHADAP PERTUMBUHAN ... - Neliti, diakses Juli 18, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/381556-peranan-kelompok-sel-terhadap-pertumbuha-10d9d877.pdf
- PRAKTIK AKUNTABILITAS DI ORGANISASI GEREJA (Studi Kasus Pada Gereja Bethel Indonesia Dr. Cipto 3 Ambarawa), diakses Juli 18, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10585/2/T2_932014003_Full%20text.pdf
- DAMPAK KELOMPOK SEL BAGI PERTUMBUHAN GEREJA, diakses Juli 18, 2025, https://stthami.ac.id/ojs/index.php/hami/article/download/38/27
- PERANAN KELOMPOK SEL TERHADAP PERTUMBUHAN GEREJA HOME COMMUNITY CHURCH (HCC) DI JEMAAT PALU | BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, diakses Juli 18, 2025, https://jurnal.sttissiau.ac.id/index.php/jbs/article/view/82
- Kelompok Sel sebagai Implementasi Amanat Agung Matius 28:19-20 dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Gereja | SANCTUM DOMINE: JURNAL TEOLOGI, diakses Juli 18, 2025, https://journal.sttni.ac.id/index.php/SDJT/article/view/196
- Kelompok Sel sebagai Implementasi Amanat Agung Matius 28:19-20 dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Gereja - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/381834609_Kelompok_Sel_sebagai_Implementasi_Amanat_Agung_Matius_2819-20_dan_Dampaknya_bagi_Pertumbuhan_Gereja
- Gereja Yang Elastis Sebagai Model Bergereja di Era ... - SciSpace, diakses Juli 18, 2025, https://scispace.com/pdf/gereja-yang-elastis-sebagai-model-bergereja-di-era-digital-3ue6xgj9.pdf
- Solidaritas Jemaat di Era Gereja Digital: Suatu Tinjauan Sosio-teologis Pasca Pandemi COVID-19 di Jemaat GMIT Kaisarea BTN-Kolhua | CONSCIENTIA: Jurnal Teologi Kristen, diakses Juli 18, 2025, https://ojs.theologi.id/index.php/conscientia/article/view/83
- PELAYAN KRISTUS YANG BERDAMPAK ... - STFT Jaffray Makassar, diakses Juli 18, 2025, https://sttjaffray.ac.id/info/berita-jaffray/item/25-pelayan-kristus-yang-berdampak-di-era-masyarakat-digital
- Pengaruh Internet dan Media Sosial terhadap Pencapaian Kekudusan di Kalangan Muda Katolik Paroki SantoVincent A Paulo, Malang, diakses Juli 18, 2025, https://ejournal.aripafi.or.id/index.php/Nubuat/article/download/40/43/170
- TINJAUAN PUSTAKA PENGARUH TEKNOLOGI DAN MEDIA SOSIAL TERHADAP SPIRITUALITAS UMAT KRISTEN - tentang jurnal, diakses Juli 18, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/download/80/117
- Media Sosial Sebagai Penjalin Hubungan ... - Semantic Scholar, diakses Juli 18, 2025, https://pdfs.semanticscholar.org/8422/87816edf09aca1fd52c072c39e3068f6c534.pdf
- Pemanfaatan Teknologi Digital Bagi Efektivitas Penginjilan dan Pemuridan Generasi- Z - GRAFTA, diakses Juli 18, 2025, https://www.grafta.stbi.ac.id/index.php/GRAFTA/article/download/79/46
- Media Sosial Dan Perdebatan Politik: Upaya Gereja Mereduksi Konflik Pemilu di Era Digital Dalam Bingkai Etis Teologis | Request PDF - ResearchGate, diakses Juli 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/382603648_Media_Sosial_Dan_Perdebatan_Politik_Upaya_Gereja_Mereduksi_Konflik_Pemilu_di_Era_Digital_Dalam_Bingkai_Etis_Teologis
- DARI DEBAT KE DIALOG: PERSAHABATAN ANTARIMAN YANG AUTENTIK DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN FROM DEBATE TO DIALOGUE, diakses Juli 18, 2025, https://jurnaldialog.kemenag.go.id/index.php/dialog/article/download/408/217
- Hiruk-pikuk Debat Islam-Kristen di Medsos - Inipasti, diakses Juli 18, 2025, https://inipasti.com/hiruk-pikuk-debat-islam-kristen-di-medsos/
- Tantangan Kepemimpinan Kristen di Era Disrupsi: Tanggung Jawab, Integritas, dan Adaptasi dalam Melayani Gereja - Kharisma: Jurnal Ilmiah Teologi, diakses Juli 18, 2025, https://jurnalsttkharisma.ac.id/index.php/Kharis/article/view/256
- Roh Kudus dan Good Governance dalam ... - Theologia in Loco, diakses Juli 18, 2025, https://www.theologiainloco.com/ojs/index.php/sttjournal/article/download/226/50/973
- Dampak Berkembangnya Teologi Kontemporer Terhadap Pertumbuhan Iman Di Jemaat Gkii Antiokhia Laja, diakses Juli 18, 2025, https://jurnal.sttkn.ac.id/index.php/Veritas/article/download/313/pdf
- PENDAHULUAN, diakses Juli 18, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2560659&val=24045&title=Inkulturasi%20Liturgi%20Gereja%20Bethel%20Indonesia
- MEDIA SOSIAL DALAM MENDUKUNG MISI HOLISTIK PADA ERA DIGITAL DI GMIT JEMAAT ELIM NAIBONAT - Voice of Wesley, diakses Juli 18, 2025, https://jurnalvow.sttwmi.ac.id/index.php/jvow/article/download/188/pdf_1
Elya G. Muskitta | Airmadidi, 04 Juni 2025
GEREJA SOLID vs GEREJA LIQUID vs GEREJA ELASTIS